LLDikti: Gelar Akademik Hanya Awal, Bukan Akhir Perjuangan

UMA menggelar acara wisuda bagi 1.090 mahasiswa (f:susan/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah I, Prof. Saiful Anwar Matondang, mengingatkan para lulusan Universitas Medan Area (UMA) bahwa tantangan sesungguhnya baru dimulai setelah prosesi wisuda.
Menurutnya gelar akademik merupakan awal dari proses panjang menuju keberhasilan, bukan hasil akhir yang instan.
Ia menggambarkan, kondisi ekonomi global hari ini semakin tidak menentu akibat krisis pangan berkepanjangan. Serta, konflik geopolitik seperti perang Rusia - Ukraina dan konflik Timur Tengah yang berdampak pada distribusi pangan dan energi.
“Kalau anda menanam pendidikan, buahnya pahit, pahit, pahit, lama-lama akan manis. Seorang sarjana akan menempuh 20 tahun agar mengetahui kesuksesan dari sarjananya,” ujarnya saat memberikan sambutan saat kegiatan wisuda UMA, Sabtu (21/6/2025).
Menurutnya, seorang lulusan sarjana akan mengalami masa 5 hingga 10 tahun yang masih sulit, kemudian pada tahun ke-20 baru tahu siapa dirinya. Sementara itu, bagi lulusan magister, masa ‘pahit’ mungkin lebih singkat, dan untuk doktor, bisa langsung menuai hasil karena biasanya sudah berstatus profesional.
Ia juga mengingatkan para orang tua agar tidak langsung berharap anak-anaknya akan langsung mapan setelah wisuda.
“Malah bapak ibu masih harus terus membantu mereka. Pendidikan itu investasi jangka panjang sampai anda tutup usia nanti. Kalau hari ini usianya 25 tahun, ditambah 20 tahun maka usia 45 sampai 60 tahun anda menikmati hasilnya,” ucapnya.
Pendidikan Antar Generasi dan Ketimpangan Ekonomi
Dari hasil survei LLDikti, Prof. Saiful juga menyoroti pentingnya pendidikan antargenerasi. “Sebagian besar anak yang orang tuanya sarjana, akan jadi sarjana juga. Tapi kalau orang tuanya tidak sarjana, kecil kemungkinan anaknya lanjut kuliah. Maka kita hanya berputar di situ-situ saja,” ujarnya.
Menurutnya, ketimpangan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat bukan semata karena perbedaan penghasilan, tetapi karena perbedaan perilaku dalam mengelola uang.
“Ada pertanyaan yang ironis. Kenapa yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin? Karena orang kaya tau ‘how to manage financial’ (bagaimana mengelola keuangan). Orang kaya itu tidak boros, tapi hemat,” ungkapnya.
Sebaliknya, kelas menengah ke bawah cenderung menghabiskan seluruh pendapatan bahkan menambah utang. Ia menyebut ini sebagai gejala klasik masyarakat yang terjebak dalam gaya hidup dan tidak punya visi jangka panjang.
Ia juga menjelaskan bahwa menurut ilmu manajemen, seseorang disebut kelas menengah jika penghasilannya lima kali lipat dari UMR.
“Kalau UMR Rp3 juta, berarti kelas menengah penghasilannya minimal Rp15 juta. Tetapi penyakit orang kelas menengah menghabiskan gajinya dan juga menambah beban beratnya dengan kartu kredit karena lifestyle,” tuturnya. (susan/hm20)
PREVIOUS ARTICLE
Lulusan UMA Diminta Jadi Pencipta Lapangan Kerja