Tuesday, July 1, 2025
home_banner_first
OPINI

Bhayangkara di Usia ke-79: Menjaga Kepercayaan, Menegakkan Harapan

journalist-avatar-top
Selasa, 1 Juli 2025 08.32
bhayangkara_di_usia_ke79_menjaga_kepercayaan_menegakkan_harapan

Ilustrasi Polri. (f: ist/mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Oleh: Anwar Suheri Pane

Dalam sistem demokrasi, kepolisian tidak sekadar menjadi alat kekuasaan negara, tetapi juga representasi nyata kehadiran negara di tengah kehidupan masyarakat. Kepolisian adalah cerminan negara yang paling dekat dengan rakyat, berperan sebagai penjaga ketertiban, pelayan publik, penegak keadilan, dan pengaman kehidupan sosial.

Namun, di tengah dinamika sosial yang semakin kompleks dan berkembang cepat, muncul pertanyaan krusial: apakah Kepolisian Republik Indonesia atau Polri telah sungguh-sungguh menjadi bagian dari masyarakat? Apakah keberadaannya benar-benar dirasakan sebagai pelindung dan pengayom yang berempati, bukan semata-mata aparat hukum yang kaku?

Tulisan ini mencoba mengurai jawaban atas pertanyaan tersebut melalui kajian historis, dinamika kelembagaan, ekspektasi publik, serta tantangan dan peluang yang dihadapi Polri dalam mewujudkan jati diri sebagai institusi yang berpihak pada rakyat.

Jejak Historis dan Agenda Reformasi

Polri terbentuk dari semangat perjuangan bangsa. Dalam perjalanannya, institusi ini mengalami berbagai fase—dari bagian militer di masa lalu, hingga menjadi lembaga sipil usai reformasi 1998. Perubahan status ini menandai harapan besar rakyat agar institusi ini menjadi lembaga sipil yang profesional dan demokratis.

Sejak dipisahkan dari TNI pada tahun 2000 silam, Polri diharapkan mampu bertransformasi sesuai amanat UU No. 2 Tahun 2002. Kepolisian harus menjadi pemelihara keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, melindungi dan melayani masyarakat.

Namun, proses reformasi institusi tidak berjalan mulus. Terdapat tantangan besar baik dari dalam tubuh Polri maupun dari lingkungan eksternal. Perubahan struktur belum tentu diiringi dengan perubahan budaya kerja. Reformasi Polri masih menghadapi pekerjaan besar untuk menjadikan institusi ini sepenuhnya berpihak kepada masyarakat.

Kritik Publik di Era Keterbukaan

Saat ini, masyarakat semakin aktif dan kritis. Kesadaran akan hak hukum serta partisipasi publik tumbuh seiring kemajuan teknologi informasi. Di era media sosial, tindakan aparat dapat menjadi viral dalam waktu singkat—baik yang positif maupun yang kontroversial.

Situasi ini memunculkan dua tuntutan besar kepada Polri. Pertama, desakan terhadap keterbukaan dan tanggung jawab moral semakin kuat. Tindakan tidak proporsional, pelanggaran etika, atau ketidakadilan dalam penegakan hukum akan segera menjadi sorotan publik. Kedua, Polri harus tampil dengan pendekatan yang lebih humanis—tidak sekadar sebagai penegak hukum yang keras, tetapi sebagai mitra masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban bersama.

Memasuki usia yang ke-79, Polri juga harus bisa mempertahankan legitimasi dan kepercayaan publik. Karena ketika kepercayaan mulai luntur, maka fondasi moral institusi ikut tergerus. Oleh karena itu, Polri perlu membuktikan komitmennya sebagai pelayan rakyat, bukan sekadar pelaksana aturan negara.

Membangun Polisi Humanis

Polri telah melakukan berbagai upaya mendekatkan diri kepada masyarakat. Program seperti Polisi RW, Polisi Masuk Sekolah, hingga Polisi Sahabat Anak merupakan bentuk pendekatan yang lebih menyentuh sisi kemanusiaan masyarakat. Di ruang digital, Polisi Virtual hadir untuk mengawasi ruang siber dengan pendekatan edukatif.

Prinsip community policing atau pemolisian berbasis masyarakat menjadi pendekatan utama. Polri didorong agar tidak hanya hadir saat konflik muncul, tetapi juga berperan mencegah potensi gangguan sejak dini. Visi Presisi yang digagas oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadi panduan baru bagi Polri dalam menghadapi dinamika dan tantangan era modern.

Namun, tantangan terbesar tetap berada di tingkat pelaksanaan. Masyarakat masih menjumpai oknum polisi yang arogan, kurang responsif, bahkan menyimpang dari nilai-nilai profesionalisme. Proses hukum yang tidak merata atau keberpihakan pada kepentingan tertentu masih menjadi catatan kritis publik.

Karena itu, reformasi sejati harus menyentuh aspek mentalitas dan budaya kerja. Pembenahan internal harus melibatkan mekanisme kontrol etis, keterbukaan, dan ruang pengawasan yang luas bagi masyarakat sipil. Kompolnas, Ombudsman, serta media perlu mendapat ruang lebih untuk pengawasan kinerja Polri secara objektif.

Keadilan Restoratif dan Nilai Lokal

Konteks sosial Indonesia yang beragam menuntut Polri memahami pendekatan sesuai dengan kearifan lokal. Tidak semua persoalan bisa diselesaikan dengan pendekatan hukum formal. Di sinilah pentingnya kehadiran Polri dalam mengedepankan keadilan restoratif—yakni penyelesaian yang mengedepankan perdamaian dan pemulihan sosial.

Pendekatan ini telah diterapkan dalam sejumlah kasus ringan di berbagai daerah, seperti pencurian kecil atau konflik personal. Dengan melibatkan tokoh adat, agama, dan masyarakat, Polri dapat menjadi jembatan solusi yang berakar pada nilai lokal.

Namun pendekatan ini perlu regulasi yang tegas agar tidak menjadi celah kompromi terhadap kejahatan serius. Diperlukan pelatihan dan pengawasan ketat agar implementasinya tetap adil dan tidak menimbulkan ketimpangan hukum.

Tantangan Integritas di Tengah Arus Digital

Era digital membawa tantangan baru bagi Polri: kejahatan siber, penipuan daring, penyebaran hoaks, serta ujaran kebencian. Dunia maya telah menjadi ruang baru bagi konflik dan kejahatan, yang menuntut Polri hadir secara aktif, cerdas, dan cepat.

Masalah internal justru merupakan ancaman paling signifikan di tubuh Polri. Beberapa kasus besar dari petinggi Bhayangkara menjadi batu ujian kepercayaan masyarakat. Di tengah tekanan publik, institusi wajib menunjukkan kemampuan melakukan koreksi, penegakan disiplin, dan pertanggungjawaban secara transparan.

Dalam konteks inilah, prinsip “keadilan yang tidak hanya dijalankan, tetapi juga terlihat dijalankan” menjadi sangat relevan. Transparansi bukan pilihan, melainkan keharusan.

Menuju Polisi Rakyat

Menjadikan Polri sebagai institusi rakyat butuh proses konsisten, kepemimpinan yang kuat, serta partisipasi masyarakat. Polri harus membuka diri terhadap masukan, berani melakukan evaluasi, dan terus memperkuat komitmen melayani rakyat dengan adil.

Ada tiga hal penting yang harus menjadi pijakan:

1. Kepemimpinan melayani: Pimpinan Polri harus mengedepankan integritas dan empati, menjadi panutan dalam etika dan moralitas di tengah masyarakat.

2. Reformasi yang berbasis keadilan sosial: Penegakan hukum harus memberi perlindungan khusus bagi kelompok rentan dan menghindari diskriminasi hukum.

3. Transparansi dan keterbukaan publik: Sistem pengaduan masyarakat harus diperkuat, termasuk pengawasan independen yang melibatkan publik.

Polri wajib menjadi bagian dari rakyat, bukan milik elite. Institusi ini harus menegakkan hukum dengan hati nurani dan keberpihakan pada keadilan sejati.

Dari Ketakutan Menuju Harapan

Setiap warga negara Indonesia berhak merasa aman. Rakyat harus merasa tidak takut, karena yakin Polri adalah lembaga yang melindungi mereka secara adil. Di tengah perubahan zaman yang begitu cepat, satu hal yang tidak boleh berubah adalah keberpihakan Polri pada kebenaran dan rakyat.

Transformasi Polri adalah tanggung jawab bersama. Di usianya yang ke-79, institusi ini harus mampu menjawab kepercayaan masyarakat dengan tindakan nyata. Polri harus mampu melayani dengan keadilan, dan menjadi harapan, bukan menjadi sumber ketakutan—sesuai makna Bhayangkara: penjaga, pengawal, pengaman, serta pelindung keselamatan negara dan bangsa. (*)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN