Saturday, November 1, 2025
home_banner_first
INTERNATIONAL

Trump Perintahkan Uji Coba Nuklir, Dunia Waspadai Hantu Perang Dingin

Mistar.idJumat, 31 Oktober 2025 19.16
JS
trump_perintahkan_uji_coba_nuklir_dunia_waspadai_hantu_perang_dingin

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. (foto:eenews/mistar)

news_banner

Washington, MISTAR.ID

Hantu Perang Dingin mulai terasa di antara negara-negara adidaya dunia, tepat pada peringatan Halloween. Ketegangan meningkat setelah Presiden Rusia Vladimir Putin membanggakan uji coba torpedo bertenaga nuklir dan rudal jelajah baru.

Menanggapi hal itu, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump membalas dengan pengumuman mengejutkan. Dalam unggahan panjang di platform Truth Social, seperti dilansir, Jumat (31/10/2025), Trump menyatakan, “Karena negara-negara lain sedang menguji programnya, saya telah menginstruksikan Departemen Perang untuk mulai menguji senjata nuklir kami secara setara. Proses itu akan segera dimulai.”

Pernyataan tersebut menimbulkan kehebohan di kalangan pengawas nuklir internasional. Mereka mempertanyakan maksud Trump, mengingat Amerika Serikat belum melakukan uji coba senjata nuklir selama beberapa dekade.

“Setiap pernyataan dalam unggahan itu keliru,” kata Matthew Bunn, pakar senjata nuklir dari Universitas Harvard. “AS bukan negara dengan jumlah senjata nuklir terbanyak di dunia, dan tidak benar negara lain sedang melakukan uji coba nuklir. Trump juga keliru karena uji coba nuklir dilakukan oleh Departemen Energi, bukan Departemen Pertahanan.”

Calon Trump untuk memimpin Komando Strategis AS, Laksamana Muda Richard Correll, juga tampak tidak memahami maksud presiden. Dalam sidang konfirmasi di hadapan Komite Angkatan Bersenjata Senat, ia menegaskan bahwa baik Rusia maupun Tiongkok belum melakukan uji coba peledakan nuklir.

Menurut Pusat Pengendalian Senjata dan Non-Proliferasi, uji coba nuklir didefinisikan sebagai “peledakan senjata nuklir terkendali, seperti bom atau hulu ledak.” Dengan demikian, uji coba rudal dan torpedo Rusia tidak termasuk dalam kategori tersebut.

Sementara itu, Jon Wolfsthal, penasihat kebijakan nuklir era Joe Biden dan Barack Obama, menilai Rusia, AS, dan Tiongkok kini kembali berlomba memperkuat platform nuklirnya.

“Ketiganya menginvestasikan puluhan miliar dolar untuk pengembangan rudal, pesawat pengebom, dan kapal selam. Kita tampaknya kembali ke dinamika perlombaan senjata ala Perang Dingin,” ujarnya.

Jika Trump benar-benar berniat memulai kembali uji coba nuklir, para analis menilai langkah itu sangat berisiko. Hampir seluruh negara berkemampuan nuklir telah menahan diri untuk tidak melakukan uji coba sejak lama. Rusia terakhir kali melakukannya pada 1990, AS pada 1992, dan Tiongkok pada 1996. Satu-satunya negara yang melakukan ledakan nuklir di abad ini adalah Korea Utara, yang kemudian menjadi paria internasional.

Selain risiko diplomatik, uji coba baru juga menghadapi tantangan teknis. Studi federal menunjukkan bahwa pelaksanaan uji coba nuklir yang aman membutuhkan waktu persiapan bertahun-tahun dan kemungkinan hanya menghasilkan sedikit data baru. AS sendiri telah memiliki sistem uji komponen nuklir yang sangat canggih dan dianggap unggul secara global.

Para pengamat memperingatkan bahwa jika AS memulai kembali uji coba, negara lain dapat menjadikannya alasan untuk mengembangkan program nuklir masing-masing.

“Negara yang paling diuntungkan dari langkah ini adalah Tiongkok,” ujar Bunn.

Sementara itu, John Tierney, mantan anggota Kongres AS yang kini memimpin Pusat Pengendalian Senjata dan Non-Proliferasi, menyebut kebijakan Trump “tidak masuk akal secara strategis.”

Meskipun beberapa pihak berpendapat Trump bermaksud menekan Rusia dan Tiongkok agar berkomitmen pada denuklirisasi, pernyataannya justru menimbulkan ketidakpastian baru.

“Suatu hari dia berbicara tentang perlucutan senjata nuklir, keesokan harinya ingin melakukan uji coba. Itu sangat berbahaya,” kata Tierney.

Hingga kini, Departemen Pertahanan dan Gedung Putih belum memberikan penjelasan resmi mengenai arah kebijakan tersebut. Para analis menilai, di tengah meningkatnya ketegangan global, langkah Trump justru berpotensi memicu instabilitas yang lebih besar di panggung internasional. (hm16)

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN