Harga Cabai di Sumut Bervariasi, Ekonom Ungkap Penyebab Disparitas Antar Wilayah

Pedagang komoditas cabai dan bawang di Pasar Sei Sikambing menjajakan dagangannya. (foto:amitaaprilia/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Harga cabai merah dan cabai rawit di berbagai wilayah Sumatera Utara (Sumut) mengalami perbedaan yang cukup signifikan. Disparitas harga ini disorot Gunawan Benjamin, pengamat ekonomi dari Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), yang menyebutkan bahwa perbedaan tersebut disebabkan beberapa faktor utama, terutama terkait rantai pasok dan biaya distribusi.
Perbandingan Harga Cabai Antar Wilayah
Gunawan mencontohkan bahwa di Medan dan sekitarnya, harga cabai merah saat ini berada di kisaran Rp23.000 hingga Rp34.000 per kilogram (kg). Sementara itu, cabai rawit di Deli Serdang dijual seharga sekitar Rp38.000 per kg, namun di wilayah Gunung Sitoli, Nias, harganya bisa melonjak hingga Rp50.000 per kg.
Faktor Penyebab Perbedaan Harga
1. Rantai Pasok dan Distribusi
Menurut Gunawan, perbedaan harga cabai erat kaitannya dengan rantai pasok dari sentra produksi ke wilayah konsumen.
Daerah seperti Kabupaten Karo dan Dairi, yang menjadi sentra produksi, memasok cabai ke berbagai wilayah yang jaraknya cukup jauh. Perjalanan yang panjang menambah biaya logistik, sehingga berdampak langsung pada harga jual di pasar.
“Artinya, dari satu titik ke titik lainnya, ongkos distribusi berbeda-beda. Inilah yang membuat harga cabai bisa sangat berbeda antar wilayah,” ujarnya, Selasa (12/8/2025).
2. Struktur Pedagang dan Akses Pasokan
Medan, sebagai kota besar, didominasi oleh pedagang besar yang mengambil pasokan dari wilayah pegunungan.
Sementara itu, daerah seperti Tanjung Morawa yang lebih dekat dengan Beringin—salah satu titik produksi—memungkinkan pedagang memperoleh cabai langsung dari petani dengan biaya yang lebih efisien.
“Di Tanjung Morawa, harga cabai bisa hanya Rp23.000 per kg, sedangkan di Pasar Brayan, Medan, bisa mencapai Rp34.000 per kg,” tutur Gunawan.
3. Daya Beli dan Serapan Pasar
Selain distribusi, Gunawan juga menyoroti bahwa tingkat permintaan dan daya beli masyarakat turut mempengaruhi fluktuasi harga.
Di kota besar seperti Medan, serapan pasar lebih tinggi karena konsumsi rumah tangga, hotel, restoran, dan pasar modern yang cukup besar.
Ketika pasokan tidak mencukupi kebutuhan dalam satu hari, lonjakan harga dapat terjadi dengan cepat.
4. Faktor Tambahan: Cuaca dan Infrastruktur
Cuaca ekstrem yang berdampak pada produksi pertanian serta infrastruktur jalan di daerah terpencil juga menjadi faktor pendukung terjadinya ketimpangan harga.
Selain itu, budaya konsumsi lokal juga memengaruhi permintaan di tiap wilayah.
Kesimpulan: Disparitas Harga Bersifat Sementara
Gunawan menegaskan bahwa kondisi perbedaan harga seperti ini bersifat sementara dan merupakan bagian dari mekanisme pasar.
“Saya menilai situasi ketimpangan harga ini wajar dan tidak berlangsung lama, karena pasar akan selalu mencari titik keseimbangan baru,” tuturnya mengakhiri. (amita/hm27)