Sunday, October 19, 2025
home_banner_first
BUDAYA

Urdo-Urdo di Tengah Zaman Digital, Senandung Kasih Ibu Simalungun yang Kian Senyap

Mistar.idMinggu, 19 Oktober 2025 21.48
LM
IH
urdourdo_di_tengah_zaman_digital_senandung_kasih_ibu_simalungun_yang_kian_senyap

Ilustrasi bayi sedang tidur.(foto:canva.com)

news_banner

Simalungun, MISTAR.ID

Urdo-urdo tak sekadar nyanyian penghantar tidur, namun adalah sarana berkomunikasi antara anak dan orang tua. Namun senandung itu kini nyaris tak terdengar lagi. Hilang terkikis zaman atau terkikis peradaban yang berubah drastis.

Urdo-Urdo merupakan judul nyanyian di kalangan masyarakat lokal Simalungun yang dahulu biasa dilantunkan para kaum ibu saat menidurkan anak-anaknya. Lagu urdo-urdo merupakan ungkapan rasa kasih sayang yang begitu melekat dari seorang ibu kepada anaknya. Di dalam lagu ini terkandung harapan dan doa yang baik tatkala menimang-nimang bayi atau anak.

Di sebuah rumah sederhana di Nagori Sigodang, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun, suara pelan seorang lelaki lanjut usia terdengar lirih, namun bergetar makna.

Dialah Bonifacius Sumbayak, pria berusia 97 tahun, yang masih mengingat jelas masa ketika Urdo-urdo, nyanyian peniduran anak khas Simalungun, begitu hidup di tengah masyarakat.

"Sekitar tahun 1965, di masa Bupati Radjamin Purba, Urdo-urdo sangat terkenal. Hampir setiap hari terdengar ibu-ibu menidurkan anak dengan lagu itu," ujarnya kepada Mistar sambil tersenyum, mengenang masa kecilnya.

Menurutnya, Urdo-urdo bukan sekadar lagu. Ia adalah simbol kasih sayang dan nasihat hidup yang dibalut dalam irama lembut. Orang yang menimang sambil menyanyikan Urdo-urdo disebut Pangurdo. Dengan suara lembut, mereka menyampaikan doa melalui lagu tersebut agar sang anak tumbuh menjadi pribadi yang kuat, sopan, dan pekerja keras.

Radjamin Purba sendiri saat menjabat sebagai Bupati Simalungun periode 1960 hingga 1973, sangat mendukung pengembangan adat dan budaya Simalungun. Bonifacius kemudian menyenandungkan sepenggal lirik Urdo-urdo yang masih ia hafal:

'Hur ma lo dayok, marbaggal songon hobon,

Marganjang songon pining anakku,

Podas margajang nassa hotang, unang sukkot ilabah.'

"Maknanya agar anak tumbuh rajin bekerja, tidak sombong, dan berguna bagi orang lain," katanya.

Menurut Bonifacius, lagu itu juga menggambarkan kehidupan masyarakat Simalungun di masa lalu. "Dulu rata-rata warga memelihara ayam. Jadi, sambil mengusir ayam yang mengganggu, sekalian lah menidurkan anak. Makanya ada kalimat ‘Hur ma lo dayok'," tuturnya.

Namun kini, nyanyian yang dulu menjadi bagian dari kehidupan malam di setiap rumah itu hampir tak terdengar lagi. Pergeseran zaman dan perkembangan teknologi perlahan menggerus tradisi turun-temurun itu. "Sudah jarang didengarkan, seolah terlupakan," ujar Bonifacius.

Sementara itu, Yuni Purba, ibu tiga anak yang juga tinggal di wilayah Kecamatan Panei, mengaku tak begitu mengenal Urdo-urdo. "Saya tidak tahu banyak tentang lagu itu. Sekarang anak-anak saya tidurnya sambil nonton YouTube di HP," ujarnya sambil tersenyum kecut.

Kesibukan bekerja sebagai penata rias membuat Yuni jarang punya waktu untuk menina-bobokkan anak seperti para ibu zaman dulu. "Kalau ada orderan dari luar daerah, saya bisa kerja sampai malam. Jadi ya, anak-anak dikasih gadget saja biar anteng," katanya.

Seorang lansia lainnya, Rita Sinaga, mengatakan Urdo-urdo bukan sekadar lagu, melainkan warisan lisan yang menyimpan nilai-nilai pendidikan karakter.

"Dalam tiap baitnya, terkandung harapan, doa, dan petuah hidup yang sejalan dengan falsafah masyarakat Simalungun," kata wanita yang memiliki 89 cucu dan cicit ini.

Kini, ketika generasi muda lebih akrab dengan lagu pengantar tidur digital, Urdo-urdo berisiko tinggal nama. Padahal, di balik kesederhanaannya, lagu ini adalah cerminan budaya kasih sayang dan kearifan lokal yang seharusnya dilestarikan.

Rita menatap jauh ke halaman rumahnya yang saat ini ramai lalu-lalang kendaraan dengan alunan musik tren masa kini. "Sayang kali kalau anak cucu kita tak tahu lagi lagu ini. Padahal, dari sinilah dulu kami belajar mencintai, menimang, dan berharap," katanya pelan.

Disrupsi budaya lisan tradisional di tengah penetrasi media digital, jelas terlihat. Lantunan Urdo-urdo kian senyap di tengah hiruk pikuk zaman digital, padahal ia adalah benih warisan budaya Simalungun yang memuat nilai-nilai luhur dan identitas. Namun di hati orang-orang seperti Bonifacius Sumbayak, iramanya masih hidup, lembut, hangat, dan penuh makna.

Pemerhati Budayawan Simalungun, Sultan Saragih, Selasa (14/10/2025). (foto :hamzah/ mistar.id)

Lirik Mengandung Doa

Pemerhati Budaya Simalungun, Sultan Saragih menilai mengatakan, sebelum adanya televisi atau handphone seperti sekarang, komunikasi menjadi wadah untuk bersosial, menghibur satu sama lain para anggota keluarga.

"Tradisi penutur seperti dongeng, tari-tarian, termasuk juga nyanyian Urdo-urdo menjadi bagian dari kehidupan, kebiasaan sehari-hari masyarakat Simalungun," ujar Sultan Saragih yang diwawancarai Mistar, Selasa (14/10/2025).

Nyanyian urdo-urdo bukan hanya sekedar nyanyian belaka, lirik-liriknya mengandung doa agar sang anak tumbuh sehat, panjang umur, murah rezeki, dan taat kepada orang tua. Urdo-Urdo ini juga menjadi pertanda simbol cinta, harapan, dan juga mempererat jalinan batin sang ibu antara anaknya.

Kini, di tengah kesibukan atau pun profesi yang dijalani seorang ibu, pola asuh anak pun berubah. Saat ini, banyak dari kaum ibu-ibu lebih memilih dan memberikan hendphone ke anak sebagai pengalih perhatian ketika anak rewel. Ketimbang menyanyikan urdo-urdo.

"Jika hal ini terjadi terus-menerus, tradisi ini perlahan hilang dari masyarakat Simalungun. Lagu urdo-urdo ini kan menimag-nimang bayi atau anak agar lekas tertidur," ujar Sultan.

Di Kabupaten Simalungun, kata Sutan, tradisi ini kian jarang terdengar dari mulut para ibu generasi muda. Teknologi kini mengambil alih peran yang harusnya diisi oleh kasih sayang dari orang tuanya.

"Banyak faktor yang membuat tradisi ini perlahan mulai hilang. Salah satunya, ada pergantian pola asuh anak. Ibu-ibu zaman sekarang sibuk dengan profesinya. Mau tak mau, anah diasuh dengan cara yang lebih praktis dan instan. Dengan memberikan handphone atau pin android," ucapnya.

Ironisnya, ketika anak rewel atau menangis, solusi tercepat kaum ibu-ibu saat ini adalah memberikan tontonan kepada anak dengan tampilan layar pada handphone. Hal ini berbanding terbalik dengan pola asuh kaum ibu zaman dahulu sebelum masuknya tegnologi.


Tak Lagi Dikenal

Dampak dari pola asuh yang berubah, lagu atau nyanyian Urdo-urdo tidak lagi dikenal generasi muda. Memori komunal, arsip budaya, dan juga pola kedekatan atau hubungan emosional antara ibu dan anak juga perlahan renggang. Lambat laun, lagu atau nyanyian masyarakat ini akan hilang.

Maestro Seni, Musik Budaya Simalungun, Ompung Raminah Garingging, mengatakan nyanyian urdo-urdo memiliki makna dan kedudukan yang tinggi. Nyanyian rakyat ini sarat akan nilai-nilai spiritual dan moral dalam kehidupan berbudaya di Simalungun.

"Dalam budaya Simalungun, Urdo-urdo punya nilai tinggi karena berisi harapan agar anak diberkati tuhan, panjang umur, murah rezeki, dan patuh kepada orangtua atas nasehat yang disampaikan kepada anak," ujar Opung Raminah yang diwawancarai Mistar, Selasa (14/10/25).

Dari kediamannya di Jalan Siantar Timur Nomor 97 Kota Pematangsiantar, Ompung Raminah kembali menyampaikan, di masa lalu Urdo-Urdo bagian dari kehidupan masyarakat. Dinyanyikan hampir setiap hari oleh para ibu ketika akan menidurkan anak-anaknya.

"Dahulu, ibu-ibu mengendong anaknya dan mengayun-ayunkan anaknya secara pelan yang diiringi Urdo-urdo. Jika tidak dilestarian secara serius, maka generasi mendatang hanya akan mengenal Urdo-urdo sebagai sejarah, bukan lagi bagian dari peradaban manusia," sebutnya.

Maestro Seni dan Musik Simalungun, Ompung Raminah Garingging, Selasa (14/10/2025). (foto :hamzah/ mistar.id)

Pelestarian

Ompung Raminah mengaku, dirinya akan selalu berdoa agar budaya ini tidak hilang. Menurutnya, tradisi tersebut harus dilestarikan oleh generasi saat ini.

"Kalau soal perbandingan, setiap daerah tentunya berbeda. Yyanyian dari Simalungun dengan daerah lainnya untuk pengantar tidur bagi anak tntunya berbeda-beda," ucapnya.

"Sudah saatnya generasi muda, para kaum ibu saat ini di Simalungun untuk bisa dan dapat membuka ruang untuk menyanyikan kembali lagu Urdo-urdo yang diciptakan para pendahulu, sebelum akhirnya benar-benar hilang dari ingatan," harapnya.

Psikologi Anak dan Pendidikan Kabupaten Simalungun, Ruth Maya Tamba. (Foto : dokumentasi pribadi Ruth Maya Tamba/mistar.id).

Memperkuat Hubungan

Sementara itu, Psikologi Anak dan Pendidikan, Ruth Maya Tamba menyampaikan, banyak studi dalam psikologi yang mengkonfirmasi jika lagu pengantar tidur bisa membantu bayi dan ibu untuk merasakan rileks, lalu meningkatkan kestabilan tubuh sang bayi, dan perkuat ikatan (attachment) antara anak dan orang tuanya.

"Lullaby (Lagu pengantar tidur,red) kepada anak, pada dasarnya dapat menurunkan stres dan membantu mengatur detak jantung, napas, serta kadar oksigen pada bayi, termasuk bayi prematur," ungkap Ruth Maya kepada Mistar, Selasa (14/10/25).

Ia juga menilai, tidak hanya bayi saja yang merasakan aman dan nyaman. Tetapi lagu pengantar tidur bisa memperkuat hubungan bayi dan orangtua. Orangtua, khususnya ibu juga bisa merasa rileks, dan kesejahteraan emosionalnya juga jauh lebih baik karena bisa menurunkan kecemasan.

Ruth Maya memaparkan hal ini menarik. Efek menenangkan dari lagu pengantar tidur tidak bergantung pada bahasa yang digunakan. Melainkan dapat menunjukkan kalau lagu tersebut memiliki kekuatan secara universal untuk membuat bayi merasa nyaman.

"Dalam hal ini, termasuk lagu Urdo-urdo. Ketika lagu dinyanyikan dan dilakukan secara berulang-ulang dengan tempo yang menenangkan, bayi mampu mengikuti lagu dan mengingatnya lewat otaknya. Artinya, otak anak akan merespons dan memproses musik yang telah didengarnya," ujarnya lagi.

Secara bersamaan, ketika lagu atau musik diperdengarkan, bisa membantu otak bayi berkembang lebih pesat. Juga membantu mengembangkan daya ingatan, kecerdasan emosional, perhatian, dan berkomunikasi. Bayi pun akan lebih peka terhadap Lullaby dibandingkan dengan lagu-lagu lainnya.

"Gerakan mengikuti irama lagu atau musik yang didengarkan bisa membantu anak-anak belajar kata-kata. Pada bulan-bulan awal kehidupan bayi, otak bayi memproses musik di area khusus dan mempengaruhi tatacara anak menjalin hubungan satu sama lainnya, komunikasi, dan bergerak," sebutnya.

Ruth Maya mengutarakan bilamana lagu diperdengarkan berulang-ulang, anak akan merasa familiar terhadap musik dan kata yang didengarnya.

"Secara tidak langsung, hal ini membangun keakraban secara emosional dalam nada dan bahasa. Lagu-lagu pengantar tidur bisa membantu anak atau bayi dan juga para ibu-ibu untuk lebih merasakan lagi rileks dan juga kenyamanan," ujarnya.

Dengan melestarikan lagu tradisional, tentu hal ini bisa menjadi bagian dari pendidikan karakter anak. Meski pada dasarnya anak akan mulai memaknai kata demi kata pada periode usia 12 bulan, namun untuk pengenalan bisa dimulai sejak anak dilahirkan.

"Penggunaan kosa katanya juga akan berkembang pesat hingga usia anak berada di usia 5 tahun. Semakin sering diperkenalkan dan ditanamkan, anak akan mengenali identitas sosial budayanya, membangun rasa kebersamaan, sekaligus menghormati warisan budaya yang ada," ungkapnya. (hm01)

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN