WALHI Sumut Desak Kejaksaan Agung Usut Pelanggaran SDA oleh PT Torganda


WALHI datangi Kejaksaan Agung untuk laporkan 47 korporasi perusak lingkungan dan indikasi korupsi SDA. (f: ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumut mendesak Kejaksaan Agung untuk mengusut dugaan pelanggaran hukum dan indikasi korupsi sumber daya alam (SDA) yang dilakukan PT Torganda.
Direktur WALHI Sumut, Rianda Purba mengatakan Perkebunan PT Torganda mengakibatkan kerusakan hutan seluas 47.000 hektar di Register 40, Kabupaten Padang Lawas Utara, serta menggusur paksa masyarakat setempat.
“Negara telah membiarkan pelanggaran hukum ini terjadi. Berbagai modus dan praktek penguasaan hutan secara sepihak oleh perusahaan tampak nyata dan gamblang telah merugikan negara dan masyarakat, serta ekosistem,” kata Rianda melalui keterangan tertulis, Jumat (7/3/2025).
Rianda menjelaskan, dampak dari keberadaan perkebunan PT Torganda juga dirasakan langsung oleh ribuan warga. Sekitar 3.500 kepala keluarga yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Perjuangan Tani Sejahtera (Gakoptas) terusir dari wilayah kelola yang telah mereka garap sejak puluhan tahun lalu.
Meski berbagai upaya hukum, rekomendasi DPR, hingga surat dari Kementerian Kehutanan telah menyatakan penguasaan lahan oleh PT Torganda ilegal, hingga kini tak ada tindakan nyata untuk mengembalikan hak masyarakat.
Selain kasus PT Torganda, WALHI bersama 17 kantor daerah lainnya juga menyerahkan laporan terhadap 47 korporasi di berbagai sektor yang disebutkan melakukan perusakan lingkungan sekaligus terlibat dalam praktik korupsi SDA.
Perusahaan-perusahaan itu bergerak di bidang perkebunan sawit skala besar, pertambangan batu bara, emas, timah, nikel, kehutanan, pembangkit listrik, pariwisata, hingga penyediaan air bersih.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi, mengatakan bahwa praktik korupsi SDA oleh 47 korporasi tersebut diperkirakan telah menyebabkan kerugian negara hingga Rp437 triliun.
Ia menjelaskan, praktik korupsi dilakukan melalui berbagai modus, seperti perubahan status kawasan hutan lewat revisi tata ruang, gratifikasi dalam bentuk pembiaran aktivitas tanpa izin, hingga penerbitan izin yang bertentangan dengan tata ruang.
Praktik ini juga melibatkan pembuatan produk hukum yang didalamnya diatur pasal-pasal yang mengakomodasi kepentingan eksploitasi SDA serta pengampunan pelanggaran yang dilakukan, atau dikenal dengan istilah State Capture Corruption
“Kita tidak bisa hanya melaporkan kasus per kasus, tapi juga harus mencari modus operandi dari kartel-kartel yang mengkonsolidasikan praktek korupsi tersebut. Dari tahun 2009 kami melihat proses menjual tanah air itu akan terus berlangsung terhadap 26 juta hektar hutan Indonesia”, kata Zenzi.
Menurut Zenzi, kerugian akibat korupsi SDA tidak hanya dalam bentuk ekonomi, tetapi juga berdampak luas pada kerusakan lingkungan, hilangnya sumber penghidupan masyarakat, serta munculnya berbagai konflik sosial.
WALHI juga memberikan catatan kritis terkait Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025.
Dengan Jampidsus Kejaksaan Agung sebagai ketua pelaksana, WALHI meminta Satgas agar fokus menindak korporasi besar yang telah menikmati keuntungan dari aktivitas ilegal di kawasan hutan, bukan malah menyasar rakyat kecil yang justru menjadi korban dari buruknya tata kelola kehutanan.
WALHI berharap laporan tersebut dapat segera diproses, sekaligus membuka peluang kerja sama antara WALHI dan Kejaksaan Agung, baik di tingkat nasional maupun daerah, untuk menindaklanjuti kasus-kasus korupsi SDA yang merugikan negara dan rakyat. (susan/hm20)
PREVIOUS ARTICLE
Kota Medan Diprediksi Hujan Sedang Hingga Lebat Sore Ini