Thursday, April 24, 2025
home_banner_first
INTERNATIONAL

China Membawa Perang Dagang Baru: Umpan TikTok Amerika

journalist-avatar-top
Kamis, 17 April 2025 08.48
china_membawa_perang_dagang_baru_umpan_tiktok_amerika

Akun TikTok seperti dhgateofficial dan rosie.sportswear mengklaim mereka dapat menjual barang-barang bernilai tinggi atau mewah langsung ke orang Amerika (f:ist/mistar)

news_banner

China, MISTAR.ID

Perang dagang antara Amerika Serikat dan China memasuki babak baru bukan lagi hanya di meja negosiasi dagang atau tarif bea cukai, tapi kini langsung menyentuh layar ponsel jutaan warga Amerika lewat umpan TikTok.

Pemasok asal Tiongkok membanjiri media sosial, memanfaatkan algoritma TikTok untuk menggoda konsumen AS agar membeli langsung dari pabrik mereka sebagai cara menghindari tarif tinggi sebesar 145 persen yang digaungkan oleh mantan Presiden Donald Trump terhadap produk asal China.

Salah satu video viral menampilkan seorang pria bernama Wang Sen, berdiri di depan dinding tas Birkin mewah, mengklaim sebagai produsen asli berbagai merek fesyen ternama dunia.

“Kenapa tidak langsung beli dari kami? Harganya tidak akan kalian percaya,” ujarnya dalam video yang kini sudah dihapus TikTok.

Meski klaimnya meragukan, strategi pemasaran ini terbukti ampuh. DHgate situs grosir dari China yang terkenal karena menjual barang tiruan melonjak ke posisi #2 di App Store AS. Tak lama, Taobao, platform e-commerce legendaris asal Tiongkok, juga ikut naik daun ke posisi #7.

Namun para ahli memperingatkan: sebagian besar klaim tersebut nyaris mustahil benar. Produsen sah merek-merek seperti Lululemon atau Chanel terikat oleh perjanjian kerahasiaan yang ketat, dan tidak mungkin secara terbuka menjual produk asli mereka secara langsung ke konsumen.

Beberapa influencer TikTok asal China bahkan menyebut harga fantastis: legging Lululemon seharga $98 bisa didapat hanya $5 langsung dari pabrik di Yiwu. Tapi Lululemon segera membantahnya, menyatakan mereka tidak bekerja sama dengan pabrik manapun yang disebutkan dalam video.

Tak hanya itu, produk-produk yang dijual di TikTok kemungkinan besar adalah tiruan berkualitas tinggi produk yang secara visual meyakinkan, namun tak memiliki jaminan kualitas, garansi, atau legalitas.

“Produsen resmi tidak akan mempertaruhkan kontrak mereka untuk menjual secara terbuka di TikTok,” kata Hao Dong, dosen manajemen rantai pasok dari University of Southampton.

Sebagian produk mewah memang memiliki rantai pasok global yang kompleks. Beberapa komponen mungkin dirakit di Tiongkok sebelum diproses akhir di Eropa. Namun, karena kurangnya transparansi, tidak ada jaminan bahwa produk yang dijual di TikTok benar-benar berasal dari sumber yang sah.

Regina Frei, profesor sistem berkelanjutan di University of the Arts London, menyebut bahwa bahkan pabrik-pabrik di Italia pun bisa memiliki keterkaitan dengan Tiongkok baik dari segi pemilik, tenaga kerja, atau material.

“Kalau kita bicara tas mahal yang dirakit dengan tangan, bisa jadi sebagian besar proses terjadi di luar Eropa. Tapi tidak ada kepastian tentang itu,” katanya.

Meski produk murah menggoda, para ahli juga mengingatkan bahwa barang-barang ini bisa terdampak kebijakan baru, seperti rencana penghapusan de minimis aturan yang sebelumnya membebaskan bea impor untuk paket di bawah $800.

Jika aturan itu dihapus, bahkan pembelian langsung dari situs seperti Temu atau Aliexpress akan dikenai tarif tinggi.

Meningkatnya video TikTok dari pabrik-pabrik China telah memaksa konsumen Amerika untuk bertanya: dari mana sebenarnya barang-barang favorit kita berasal?

“Kalau China berhenti produksi, rak toko-toko Amerika bisa kosong,” ujar Frei.

Namun selain isu ketergantungan, muncul pula keprihatinan akan dampak lingkungan dari tren belanja murah ini. Pengiriman satu per satu paket ke seluruh dunia menyumbang jejak karbon yang besar dari pembungkus plastik hingga ongkos kirim internasional.

“Apakah ini tanda-tanda runtuhnya kapitalisme?” tulis seorang pengguna TikTok dalam komentar yang disukai ribuan orang.

Sementara TikTok belum memberi tanggapan atas fenomena ini, satu hal jelas: di era media sosial, medan perang dagang bukan lagi hanya soal angka tapi juga soal narasi, persepsi, dan algoritma. (cnn/hm17)

REPORTER:

RELATED ARTICLES