Tren Balap Lari Dianggap Liar di Asahan, Ini Pandangan Akademisi


Dekan Fakultas Hukum dan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Asahan (UMMAS), Sofian. (f:ist/mistar)
Asahan, MISTAR.ID
Hilangnya nyawa Pandu Brata Siregar di tengah kegiatan balap lari yang dibubarkan personel Polsek Simpang Empat Kabupaten Asahan, Minggu (9/3/2025) lalu karena dianiaya saat akan ditangkap, menimbulkan gejolak luar biasa bagi publik.
Bagaimana tidak, balap lari yang belakangan jadi tren saat Ramadan di tahun 2025 ini ternyata dianggap sebagai aktivitas illegal, hingga dibubarkan karena dinilai liar.
Akademisi Hukum Tata Negara yang juga merupakan Dekan Fakultas Hukum dan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Asahan (UMMAS), Sofian saat berbincang dengan Mistar, Rabu (19/3/2025) menilai bahwa tren balap lari ini muncul di kalangan anak muda akibat besarnya minat berolahraga yang dibarengi dengan sikap aktualisasi diri.
Baca Juga: Diduga Dianiaya Oknum Polisi, Siswa SMA di Kisaran Meninggal Dunia Usai Nonton Balap Lari
"Belakangan ini tren olahraga terutama lari sudah jadi gaya hidup dan banyak diminati. Pemandangan melihat orang yang berlari di sore atau pagi hari jadi hal yang biasa, meskipun sebenarnya dia bukan atlet. Kebutuhannya biasanya pertama agar hidup sehat, kedua untuk aktualisasi diri di media sosial,” kata Sofian.
Karena olahraga ini dianggap mudah dan murah, membuat banyak orang menggandrunginya. Untuk kawula muda, secara alami memiliki dorongan tinggi sebagai kebutuhan trend hidup, baik di sosial media atau interaksi lingkungannya.
“Celakanya, tren positif ini tidak diimbangi terhadap ketersediaan akses ruang publik. Kalau di kota-kota besar oke, punya banyak ruang publik yang bisa dipakai. Kemudian banyak event-event digelar setiap pekan. Sementara di tempat kita, di Kisaran, Kabupaten Asahan misalnya ini kan sangat minim,” kata Sofian.
Disebutkan Sofian, Kisaran termasuk menjadi daerah perkotaan yang tumbuh dengan orientasi kapitalistik cenderung mengutamakan fasilitas yang dapat menghasilkan keuntungan. Akibatnya, akses bagi kelompok tertentu menjadi terbatas, dan mereka mencari alternatif lain untuk menyalurkan kebutuhannya, salah satunya melalui balap lari yang dianggap liar dan illegal.
“Sementara dari fenomena ini tidak dapat diabaikan. Selain mengganggu pengguna jalan lain dan ketertiban umum, muncul pula risiko penyalahgunaan, seperti perjudian atau bahkan membuka potensi konflik antar komunitas,” sambung Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Asahan ini.
Karenanya, ia menekankan perlunya pemerintah merespons tren ini dengan menyediakan ruang yang lebih aman dan terarah untuk olahraga serta rekreasi, guna menghindari dampak negatif seperti perjudian atau tawuran.
“Jika dibandingkan dengan balap motor, balap lari ini lebih populis karena lebih mudah dan murah. Sudah saatnya difasilitasi dari pemerintah daerah disiapkan sarananya, atau dari pihak penyelenggara olahraga yang menggelar event-event resmi agar tren ini lebih terarah,” katanya.
Padahal menurut Sofian, pemerintah berkewajiban menyediakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk masyarakatnya yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengamanatkan pemerintah menyediakan setidaknya 30 persen dari luas wilayah kota/kabupaten untuk ruang terbuka hijau bagi masyarakat.
Baca Juga: Polres Asahan Ungkap Hasil Penyelidikan Sementara Kasus Pandu dan Tetapkan Tiga Tersangka
“Secara aspek hukumnya, pemerintah harusnya menyediakan ruang publik agar ada tempat ekspresi masyarakat melakukan kegiatan hiburan, rekreasi atau olahraga,” ujarnya. (perdana/hm16)
PREVIOUS ARTICLE
Pemkab Asahan Ringankan Beban 1.000 Kaum Dhuafa