Thursday, June 5, 2025
home_banner_first
SAINS & TEKNOLOGI

Gen Z Andalkan ChatGPT untuk Keputusan Hidup, CEO Open AI: Cerdas Tapi Berisiko!

journalist-avatar-top
Selasa, 3 Juni 2025 10.59
gen_z_andalkan_chatgpt_untuk_keputusan_hidup_ceo_open_ai_cerdas_tapi_berisiko

Ilustrasi, ChatGPT. (f:dok/mistar)

news_banner

Pematangsiantar, MISTAR.ID

Di era digital yang kian maju, batas antara kehidupan pribadi dan teknologi semakin kabur. Bahkan bagi mereka yang terbiasa dengan kemajuan ini, pernyataan terbaru dari CEO OpenAI, Sam Altman, cukup mengejutkan.

Dalam acara AI Ascent yang diselenggarakan Sequoia Capital, Altman mengungkapkan bahwa semakin banyak mahasiswa dan dewasa muda usia 20 hingga 30-an yang mengandalkan ChatGPT.

Situs teknologi terpercaya AndroidHeadlines melaporkan bahwa mereka mengandalkan ChatGPT bukan hanya untuk mencari informasi, tetapi juga dalam mengambil keputusan penting dalam hidup mereka.

Pengamatan ini memicu perbincangan penting: Apakah ini adalah kemajuan cerdas dalam memanfaatkan teknologi, atau justru pertanda ketergantungan berlebihan terhadap kecerdasan buatan?

Gen Z dan Kecenderungan Baru: Konsultasi Digital

Generasi Z tumbuh dengan teknologi digital di ujung jari mereka. Smartphone, internet, dan media sosial adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.

Maka, tidak mengherankan jika mereka juga merangkul kecerdasan buatan (AI) sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan pribadi.

Berbeda dengan generasi sebelumnya yang cenderung berkonsultasi dengan orang tua, mentor, atau konselor profesional, Gen Z kini lebih memilih untuk mengandalkan "penasihat digital".

Menurut Altman, pengguna muda tidak hanya mengajukan pertanyaan sederhana.

Mereka mengunggah berbagai dokumen pribadi dan menyusun perintah kompleks, memberikan konteks mendalam tentang hidup mereka—mulai dari karier, keuangan, hingga hubungan pribadi.

AI sebagai Penasihat Kehidupan: Cerdas atau Berisiko?

Penggunaan AI seperti ChatGPT sebagai penasihat kehidupan bisa dianggap sebagai langkah cerdas di tengah banjir informasi.

Otak manusia bisa kewalahan dengan banyaknya pilihan dan data. Sementara itu, AI mampu menyaring informasi, mengidentifikasi pola, dan memberikan analisis objektif hanya dalam hitungan detik.

Contohnya, seorang lulusan baru yang dihadapkan pada beberapa tawaran pekerjaan dapat mengunggah surat penawaran, kondisi keuangan, tujuan karier, hingga hasil wawancara ke ChatGPT.

AI kemudian dapat membantu menimbang keuntungan dan kerugian dari tiap opsi, menunjukkan inkonsistensi, bahkan mensimulasikan hasil yang mungkin terjadi dari setiap keputusan.

AI menawarkan “telinga digital” yang selalu tersedia dan tidak menghakimi, serta mampu mengingat setiap detail yang diberikan.

Dengan begitu, pengguna mendapatkan masukan berdasarkan data dan logika tanpa campur tangan emosi.

Risiko Ketergantungan: Antara Efisiensi dan Kehilangan Intuisi

Namun, Altman juga memberikan peringatan penting. “Ada orang yang tidak mengambil keputusan hidup tanpa bertanya kepada ChatGPT,” ujarnya.

Ini mengindikasikan risiko ketergantungan berlebihan pada teknologi untuk hal-hal yang seharusnya membutuhkan empati dan pengalaman manusia.

AI, sekuat apapun, tetaplah alat. Ia tidak memiliki intuisi manusia, empati, atau kemampuan memahami dinamika sosial yang rumit.

Keputusan hidup tidak selalu bersifat logis; emosi, nilai-nilai pribadi, dan pengalaman tak terduga kerap menjadi bagian integral dari prosesnya.

Ketergantungan yang berlebihan pada AI dapat menghambat pengembangan keterampilan berpikir kritis dan kemandirian dalam mengambil keputusan.

Padahal, menghadapi dilema, membuat kesalahan, dan belajar dari pengalaman adalah bagian penting dari pertumbuhan pribadi.

Ancaman Bias dan Privasi

Model AI seperti ChatGPT dilatih dari data yang dihasilkan manusia. Jika data tersebut mengandung bias atau stereotip, maka hasil yang diberikan pun bisa tidak netral.

Nasihat yang tampak logis bisa saja menyesatkan jika tidak dilandasi oleh pemahaman kontekstual yang lengkap.

Selain itu, ada pula ancaman terhadap privasi. Untuk memberikan saran yang akurat, AI memerlukan data pribadi dalam jumlah besar.

Meski pengembang AI berkomitmen terhadap perlindungan data, tetap ada risiko keamanan yang harus disadari oleh pengguna.

Keseimbangan antara Teknologi dan Kemanusiaan

Altman menggambarkan fenomena ini sebagai refleksi menarik atas evolusi hubungan manusia dengan teknologi.

AI seperti ChatGPT menawarkan keunggulan luar biasa dalam memproses informasi dan menyusun ide.

Namun, menjadikannya sebagai penasihat hidup utama membutuhkan pertimbangan yang matang.

Bagi Gen Z, dan kita semua, tantangan ke depan adalah menyeimbangkan kekuatan AI sebagai alat bantu cerdas, tanpa mengesampingkan intuisi, pengalaman, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Pengambilan keputusan yang sehat tetap memerlukan sentuhan manusia—karena pada akhirnya, hidup bukanlah sekadar soal logika, tetapi juga soal makna. (*)

REPORTER: