Lahan Bekas HGU di Taput Beralih jadi SHM dan HGB, Warga Pertanyakan Legalitas


Lokasi pabrik nenas di Kecamatan Siborongborong, Taput dari HGU menjadi SHM. (f: ist/mistar)
Taput, MISTAR.ID
Sebuah kawasan seluas lebih dari 20 hektare di Desa Pariksabungan, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, menjadi sorotan publik terkait dugaan penyimpangan status lahan. Lokasi tersebut kini menjadi tempat berdirinya pabrik pengolahan nenas, namun keberadaan sertifikat atas tanah itu menimbulkan tanda tanya besar.
Kepala Desa Pohan, Tonga Albert Siahaan, menyampaikan bahwa lahan tempat berdirinya pabrik tersebut awalnya berstatus Hak Guna Usaha (HGU). Namun, berdasarkan peta resmi dan data yang beredar belakangan ini, sejumlah bidang tanah telah berubah status menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Hak Guna Bangunan (HGB).
“Awalnya lahan itu HGU, tapi kini muncul sertifikat hak milik dan hak guna bangunan. Bahkan saya dengar, sertifikat itu sudah diagunkan ke bank,” ujarnya, Rabu (16/4/2025).
Albert meminta aparat penegak hukum (APH) untuk menindak tegas oknum yang memperjualbelikan tanah yang sejatinya merupakan aset negara. Ia menegaskan bahwa tanah tersebut awalnya diserahkan oleh warga Kenegerian Pohan kepada pemerintah pada tahun 1952.
Situasi ini memunculkan dugaan serius mengenai mekanisme konversi hak atas tanah. Menurut hukum pertanahan di Indonesia, konversi dari HGU menjadi SHM atau HGB tidak dapat dilakukan sembarangan, melainkan harus melalui proses pelepasan hak secara sah dan pengajuan permohonan baru sesuai ketentuan.
Warga Desa Pariksabungan, Ganda Tampubolon, membenarkan bahwa pada tahun 1952 warga Kenegerian Pohan menyerahkan tanah seluas 161 hektare kepada kehutanan. Kemudian pada tahun 2003, pemerintah pusat mengembalikan sebagian dari lahan tersebut kepada Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, termasuk 20 hektare yang kini menjadi lokasi pabrik nenas.
“Pertanyaannya, siapa yang menjual lahan seluas 20 hektare itu? Padahal dulunya itu jelas HGU. Sekarang muncul SHM di atasnya, ini jelas bermasalah. Konversi semacam ini tidak dibenarkan kecuali melalui pelepasan hak yang sah dan permohonan baru ke BPN,” ujar Ganda.
Ia merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai atas Tanah, yang mengatur bahwa HGU tidak dapat langsung diubah menjadi SHM tanpa prosedur yang sah.
“Jika tanah HGU dialihkan menjadi SHM atau HGB tanpa proses resmi, itu berpotensi melanggar hukum. Bahkan bisa dikategorikan sebagai penyerobotan aset negara,” ucapnya.
Lebih lanjut, Ganda mengungkapkan kekhawatirannya terhadap informasi yang menyebut bahwa sertifikat tanah tersebut telah diagunkan ke salah satu bank swasta nasional. Menurutnya, jika status lahan terbukti bermasalah, maka hal ini bisa menimbulkan kerugian negara, serta risiko kerugian bagi pihak bank.
“Kalau benar sertifikat itu sudah diagunkan, dan ternyata status tanahnya ilegal, ini sangat merugikan. Bukan hanya negara, tapi juga pihak bank bisa kena imbasnya,” tuturnya.
Berdasarkan penelusuran di lapangan, terlihat dalam peta bahwa lahan seluas lebih dari 200.000 m² kini terbagi dalam beberapa jenis hak atas tanah:
Hak Milik:
SHM NIB: 01822, luas 8.031 m²
SHM NIB: 01823, luas 9.587 m²
SHM NIB: 00133, luas 6.570 m²
Hak Guna Bangunan (HGB):
HGB NIB: 00306, luas 107.100 m²
HGB NIB: 00307, luas 80.200 m²
Tanah Kosong (belum bersertifikat): Luas total: ± 60.000 m². (fernando/hm24)