Tuesday, March 18, 2025
home_banner_first
OPINI

Seberapa Penting Revisi UU TNI?

journalist-avatar-top
Selasa, 18 Maret 2025 11.08
seberapa_penting_revisi_uu_tni

Ilustrasi. (f: ist/mistar)

news_banner

Oleh: Pangihutan Sinaga, Wartawan Harian Mistar & Mistar.id

Revisi suatu Undang-undang biasanya dilakukan karena dua faktor utama yakni faktor perbaikan dan faktor kepentingan tertentu. Dalam hal revisi UU TNI, kontroversi muncul akibat beberapa perubahan yang diajukan, yang dianggap dapat memengaruhi struktur politik dan peran militer dalam kehidupan bermasyarakat.

Beberapa kontroversi utama yang muncul dalam perdebatan revisi UU TNI meliputi:

Peningkatan peran TNI dalam kehidupan sipil

Salah satu isu utama adalah wacana untuk memperluas peran TNI dalam penanganan masalah sosial dan sipil, seperti bencana alam dan pemberantasan terorisme. Beberapa pihak khawatir bahwa hal ini bisa memperkuat militerisasi kehidupan sipil dan mengurangi ruang bagi lembaga sipil untuk berfungsi.

Penempatan TNI di struktur pemerintahan daerah

Terkadang ada usulan untuk memperbesar peran TNI dalam pemerintahan daerah, baik dalam hal penempatan perwira TNI di jabatan-jabatan sipil atau memperkuat keterlibatan TNI dalam penegakan hukum. Hal ini memicu kekhawatiran tentang politisasi militer dan potensi gangguan terhadap prinsip-prinsip demokrasi.

Tantangan terhadap Pengawasan Sipil Revisi yang mengusulkan penambahan kekuasaan

TNI dalam beberapa aspek, misalnya dalam hal keamanan internal, juga menimbulkan kekhawatiran mengenai pengawasan sipil terhadap TNI yang bisa menjadi lebih lemah. Ini dapat memunculkan potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh militer.

Isu Hak Asasi Manusia (HAM)

Beberapa revisi yang terkait dengan wewenang TNI dalam operasi militer, termasuk dalam penanganan keamanan internal dan perbatasan, kadang menimbulkan kekhawatiran terkait dengan potensi pelanggaran HAM. Hal ini mengingat catatan masa lalu terkait dengan keterlibatan TNI dalam operasi-operasi yang menuai kritik dari organisasi HAM.

Perdebatan tentang kewenangan TNI dalam keamanan dan pertahanan negara

Beberapa pihak berpendapat bahwa TNI harus tetap fokus pada tugas-tugas pertahanan negara dan tidak terlibat dalam urusan politik atau keamanan domestik yang bukan bagian dari kewenangannya. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa perubahan zaman dan kompleksitas ancaman terhadap negara memerlukan peran TNI yang lebih luas.

Kontroversi-kontroversi ini sering kali dipicu oleh perbedaan pandangan tentang sejauh mana militer harus terlibat dalam urusan negara, serta bagaimana menjaga keseimbangan antara keamanan nasional dan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Revisi UU TNI dalam Perspektif Hukum Tata Negara: Antara Supremasi Sipil dan Peran Militer

Rencana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menimbulkan perdebatan dari segi politik, keamanan, dan hukum tata negara. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, peran TNI telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, serta prinsip-prinsip hukum tata negara yang menegaskan supremasi sipil dalam sistem demokrasi.

1. Peningkatan Peran TNI dalam Kehidupan Sipil: Tantangan terhadap Prinsip Supremasi Sipil

Dalam hukum tata negara, prinsip supremasi sipil adalah salah satu ciri utama negara demokrasi. Prinsip ini mengacu pada doktrin bahwa institusi militer harus tunduk pada otoritas sipil yang dipilih secara demokratis. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, yang menegaskan bahwa kebijakan negara harus ditentukan oleh pemerintahan sipil, bukan militer.

Revisi yang memungkinkan TNI untuk lebih aktif dalam kehidupan sipil, seperti dalam penanganan bencana alam, terorisme, dan keamanan nasional, berpotensi mengaburkan batas antara tugas pertahanan dan tugas pemerintahan sipil. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 yang secara jelas memisahkan peran TNI sebagai alat pertahanan negara dan Polri sebagai alat keamanan dan ketertiban masyarakat.

Pasal terkait dalam hukum tata negara:

Pasal 30 UUD 1945:

Ayat (2): "Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung."

Ayat (3): "TNI terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara."

Ayat (4): "Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum."

Dari pasal tersebut, jelas bahwa TNI tidak memiliki kewenangan dalam urusan keamanan dalam negeri, yang merupakan tugas Polri. Jika revisi UU TNI memperluas peran militer ke ranah sipil tanpa batasan yang jelas, maka dapat dianggap bertentangan dengan prinsip hukum tata negara yang berlaku.

2. Penempatan TNI dalam Jabatan Sipil: Menghidupkan Kembali Dwifungsi ABRI?

Salah satu isu dalam revisi UU TNI adalah kemungkinan penempatan perwira aktif dalam jabatan sipil, seperti di kementerian, lembaga negara, atau pemerintahan daerah. Dalam perspektif hukum tata negara, kebijakan ini berpotensi menghidupkan kembali praktik Dwifungsi ABRI yang telah dihapus sejak reformasi 1998.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sudah membatasi ruang gerak perwira aktif dalam jabatan sipil. Pasal 47 ayat (1) menyatakan bahwa prajurit aktif dilarang menduduki jabatan sipil, kecuali dalam beberapa posisi tertentu yang telah diatur secara tegas, seperti di Kementerian Pertahanan, Sekretariat Militer Presiden, atau Badan Intelijen Negara.

Pasal terkait dalam hukum tata negara:

Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 2004:

"Prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif."

Jika revisi UU TNI memperluas penempatan perwira TNI dalam jabatan sipil tanpa batasan ketat, maka ini bertentangan dengan reformasi militer yang telah disepakati setelah Orde Baru. Dalam perspektif hukum tata negara, hal ini dapat mengganggu prinsip netralitas militer dalam politik, sebagaimana ditekankan dalam berbagai kajian hukum dan doktrin demokrasi.

3. Pengawasan Sipil terhadap Militer: Menghindari Otoritarianisme

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pengawasan sipil terhadap militer merupakan elemen penting dalam menjaga demokrasi. Sejumlah aturan hukum telah mengatur mekanisme pengawasan ini, baik melalui Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI (Pasal 10 UUD 1945) maupun melalui pengawasan legislatif oleh DPR (Pasal 20 UUD 1945).

Namun, jika revisi UU TNI memberikan kewenangan yang lebih besar kepada TNI dalam pengambilan keputusan strategis tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, maka ini bisa melemahkan sistem checks and balances. Dalam hukum tata negara, checks and balances adalah prinsip dasar yang bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh satu institusi negara.

Pasal terkait dalam hukum tata negara:

Pasal 10 UUD 1945:

"Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara."

Pasal 20 UUD 1945:

"Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kekuasaan untuk membuat undang-undang dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya."

Jika revisi UU TNI melemahkan pengawasan oleh eksekutif dan legislatif, maka ini dapat dianggap sebagai penyimpangan dari prinsip supremasi sipil dan berpotensi membuka ruang bagi otoritarianisme militer.

4. Hak Asasi Manusia dan Akuntabilitas Militer

Prinsip hak asasi manusia dalam hukum tata negara menekankan bahwa setiap kebijakan negara, termasuk di bidang pertahanan dan keamanan, harus menghormati hak dasar warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD 1945.

Revisi yang memperbesar peran TNI dalam keamanan domestik berpotensi meningkatkan risiko pelanggaran HAM, terutama dalam operasi militer di wilayah-wilayah yang dianggap berpotensi konflik, seperti Papua. Dalam konteks ini, akuntabilitas militer terhadap pelanggaran HAM harus diperkuat, bukan justru diperlonggar.

Pasal terkait dalam hukum tata negara:

Pasal 28I UUD 1945:

"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun."

Jika revisi UU TNI memberikan ruang bagi operasi militer yang kurang terkontrol dalam konteks keamanan dalam negeri, maka ada risiko bahwa perlindungan HAM akan semakin lemah, bertentangan dengan prinsip negara hukum yang dijunjung dalam sistem demokrasi.

Kesimpulan

Dalam perspektif hukum tata negara, revisi UU TNI harus tetap berlandaskan pada konstitusi, supremasi sipil, sistem checks and balances, serta penghormatan terhadap HAM. Jika revisi dilakukan untuk memperluas peran TNI secara berlebihan dalam kehidupan sipil, maka ada risiko kembalinya dominasi militer dalam politik dan berkurangnya pengawasan terhadap institusi pertahanan.

Dengan demikian, saya berpendapat bahwa revisi UU TNI perlu dikaji lebih lanjut agar tidak melanggar prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan reformasi militer yang telah dijalankan sejak 1998.*


REPORTER: