Tangan Presiden Ebrahim Raisi Disebut Berlumuran Darah Tahanan


tangan presiden ebrahim raisi disebut berlumuran darah tahanan
New York, MISTAR.ID
Presiden Iran, Ebrahim Raisi, tewas setelah helikopter yang membawanya bersama Menteri Luar Negeri Hossein Amir Abdollahian terjatuh di pegunungan bersalju dekat perbatasan Azerbaijan, Minggu (19/5/24).
Ebrahim Raisi (63) dan Hossein Amir Abdollahian (60) dikenal sebagai pemimpin garis keras Iran.
Semasa muda, tangan Raisi disebut telah ‘berlumuran darah’, ketika dia masih menjadi jaksa penuntut di pengadilan Iran di era 1980-an.
Meskipun kepresidenan Iran dianggap sebagai pos yang relatif lemah jika dibanding dengan kekuasaan pemimpin tertinggi negara, Ali Khamenei. Ada waktu di akhir 1980-an ketika Raisi seakan memiliki kekuasaan langsung atas kehidupan dan kematian.
Pertama-tama, dia membatalkan kunjungan keluarga. Kemudian menyita radio-radio tahanan sebelum disusul sidang-sidang. Dalam beberapa minggu, 10.000 aktivis Iran tewas.
Saat di pengadilan, yang sering dijuluki sebagai ‘komisi kematian’ jaksa penuntut yang duduk di sana adalah Ebrahim Raisi, pria beraliran keras yang pada tahun 2021 terpilih sebagai presiden Iran.
Baca juga: Kematian Presiden Ebrahim Raisi, Liga Iran Ditunda karena Berkabung
“Tangannya pasti berlumuran darah,” kata Mohamad Bazzi, Direktur Pusat Studi Timur Tengah Kevorkian di Universitas New York, seperti dikutip USAToday.
Saat Iran mencoba mencerna kematian Raisi dan Menteri Luar Negeri Hossein Amir Abdollahian, kematian presiden menyoroti kendali yang meresap dari para pemimpin garis keras — dan luka-luka yang masih berkecamuk dari revolusi Islam Iran.
Sekarang, setelah Raisi dikonfirmasi meninggal, konstitusi Iran meminta pemilihan umum (pemilu) dalam waktu 50 hari.
Afshon Ostovar, seorang profesor terkait studi keamanan nasional di Sekolah Pasca Sarjana Angkatan Laut di Monterey, California, hasil pemilu itu menjadi tidak pentingm karena para kandidat tersebut harus disetujui oleh petinggi agama.
“Orang yang tidak disukai oleh rakyat, tapi disukai rezim, akan terpilih,” kata Ostovar.
Para ahli mengatakan dominasi yang sangat kuat dari Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei dan Garda Revolusionernya menjamin bahwa kematian Raisi tidak akan membawa rakyat Iran lebih dekat kepada keadilan atas masa-masa pelanggaran hak asasi manusia yang mereka alami – termasuk pembantaian di penjara pada tahun 1988.
Pada musim panas itu, Iran mendekati akhir perang delapan tahun yang merusak akibat serangan tetangganya, Irak.
Baca juga: Profil Muhammad Mokhber Calon Presiden Interim Iran
Penjara dipenuhi dengan kaum muda kiri yang telah dihukum karena memiliki hubungan dengan kelompok pemberontak yang berbasis di Irak, Organisasi Mujahidin Rakyat Iran, atau Mujahidin-e-Khalq.
Pada Juli 1988, setelah kelompok itu melancarkan serangan terhadap Iran dari markasnya di Irak, Ayatollah Rouhollah Khomeni, pendiri negara Republik Islam, memerintahkan semua tahanan Organisasi Mujahidin Rakyat Iran (PMOI) untuk menghadapi menjalani pengadilan khusus.
Dalam sebuah fatwa rahasia, Khomeni memerintahkan pejabat untuk ‘segera memusnahkan musuh-musuh Islam’.
“Tiba-tiba ada kabar tentang sidang-sidang yang digelar dengan cepat yang berlangsung hitungan detik, menit, menghukum orang-orang ini dengan hukuman mati,” kata Elise Auerbach, seorang ahli Iran di Amnesty International.
Helikopter yang membawa Presiden Iran Ebrahim Raisi dan Menteri Luar Negeri Hossein Amir Abdollahian saat take off dari perbatasan Azerbaijan, sebelum terjatuh di pegunungan. (f: reuters/mistar)
Para analis memperkirakan, sekitar 10.000 orang telah dieksekusi dalam hitungan minggu di penjara-penjara di seluruh negeri. Mayat-mayat mereka dikubur secara massal tanpa diberi tanda.
Auerbach mengatakan, Raisi, yang bekerja di Tehran, diduga sebagai salah satu dari orang yang bertanggung jawab atas perintah eksekusi tersebut.
Pembunuhan tersebut begitu ekstrim sehingga wakil dan pewaris yang diinginkan Khomeni, Grand Ayatollah Hossein Ali Montazeri, memprotes, mengatakan korban-korban itu sudah dinyatakan bersalah secara hukum dan dijatuhi hukuman.
Montazeri berargumen, hal itu membuat hukum menjadi lelucon. Di mana hukuman mati dijatuhkan kepada orang-orang yang sudah menjalani masa hukumannya meski tidak melakukan kejahatan baru.
Baca juga: Presiden Iran Meninggal Dunia
Menurut laporan Amnesty International, Raisi menyebut pembunuhan itu ‘salah satu pencapaian terpuji’ dari pemerintahan Iran.
Dia kemudian menjabat sebagai Jaksa Tinggi di Tehran dan kemudian sebagai Jaksa Agung Iran. Lebih dari tiga dekade kemudian, Iran masih belum secara resmi mengakui pembantaian itu. Keluarga korban juga dilarang meratapi atau memperingati kematian mereka secara publik.
Pada tahun 1989, Montazeri merilis dokumen-dokumen dan rekaman rahasia yang membuktikan peran Khomeni dalam pembantaian yang selama ini ditutup-tutupi.
Dia ditempatkan di bawah tahanan rumah. Ketika Khomeni meninggal pada tahun 1989, seorang pejabat yang lebih rendah, Ali Khamenei, dinobatkan sebagai pemimpin tertinggi.
Khamenei sekarang berusia 85 tahun, dan pertanyaan tentang siapa yang mungkin menggantikannya menjadi rumit pasca kecelakaan helikopter Minggu kemarin.
“Raisi memimpin daftar calon pengganti potensial,” kata Bazzi.
“Meskipun ini mirip seperti suksesi kepausan, di mana orang yang menjadi unggulan tidak selalu menjadi pemenang di akhir proses,” imbuhnya.
Kepresidenan Raisi ditandai dengan penindasan kekerasan terhadap demonstran hak-hak perempuan, kekacauan ekonomi, dan meningkatnya konflik dengan AS dan Israel.
Dia kemungkinan akan diingat untuk satu hal. “Pembantaian ini dari tahanan politik di akhir Perang Iran-Irak,” kata Ostovar. (mtr/hm22)