Kenyalnya Kolang-Kaling Ramadan dari Simalungun hingga ke Pulau Jawa


Penimbangan kolang-kaling sebelum dikirim ke Kota Medan. (f:indra/mistar)
Simalungun, MISTAR.ID
Di sebuah gubuk sederhana di Kecamatan Panei, Simalungun, asap mengepul dari drum besar berisi buah aren yang mendidih di atas tungku kayu bakar.
Bau khas buah yang direbus bercampur dengan suara dentingan pisau kecil yang sibuk mengupas biji aren yang telah matang.
Itulah dapur produksi kolang-kaling milik Pak Hasbi, salah satu perajin buah pohon aren atau jamak dikenal 'Halto' di wilayah Habonaron do Bona.
Saat Ramadan tiba, kesibukan ayah dua anak ini meningkat drastis. Dalam seminggu, ia bisa memproduksi hingga 1 ton kolang-kaling.
Pak Hasbi biasanya membeli buah aren dari berbagai desa di Simalungun, seperti di Kecamatan Dolok Silau dan Raya Kahean, yang menurutnya sebagai lokasi pohon aren tumbuh subur.
"Di bulan puasa ini, permintaan naik pesat. Harga per kilogram bisa mencapai Rp9.500," ujarnya saat ditemui wartawan Mistar, Senin (10/3/2025).
Proses pemanenan buah tidak mudah, Pak Hasbi beserta pekerja lainnya harus memanjat pohon yang tingginya bisa mencapai 15 meter, menggunakan tangga bambu atau tali khusus untuk memanen buah aren yang menggantung dalam tandan besar.
"Satu tandan besar, beratnya bisa sampai 300 kilo," ucapnya.
Setelah dipetik, buah aren lalu direbus dalam drum besar selama beberapa jam untuk menghilangkan getahnya yang bisa menyebabkan gatal jika langsung bersentuhan dengan kulit. Proses ini juga membuat biji aren di dalamnya lebih mudah dikeluarkan.
"Kalau sudah masak, biji aren dikeluarkan dari cangkangnya. Satu buah biasanya berisi dua sampai tiga biji kolang-kaling," tuturnya.
Biji aren yang sudah dikeluarkan dari cangkangnya kemudian ditumbuk menggunakan kayu karena teksturnya masih keras.
"Habis di gepeng (ditumbuk), kolang-kaling direndam dalam air bersih selama beberapa hari untuk menghilangkan sisa getah, membuat teksturnya menjadi lebih kenyal," tuturnya sembari menambah kayu bakar ke perapian.
Setelah proses perendaman selesai, kolang-kaling yang sudah bersih dikemas dalam karung atau plastik besar untuk dikirim ke berbagai daerah. Dari Simalungun, kolang-kaling banyak dikirim ke pasar-pasar di Sumatera Utara, bahkan hingga ke Pulau Jawa.
"Sekarang ini saya masih ngirim ke Medan, tapi ada juga tokeh disini yang ngirim sampai ke Jakarta. Kalau bulan puasa, banyak yang tiba-tiba ikut masak (mengolah) buah (aren), jadi stok banyak untuk dikirim," ujarnya.
Di Kabupaten Simalungun, Halto telah menjadi sumber mata pencaharian bagi banyak warga. Salah satunya adalah Azehar Bangun, warga Nagori Sigodang, Panei, yang melanjutkan usaha pengolahan kolang-kaling milik orang tuanya sejak 1996.
Masa serupa di tahun lalu, ia mengirimkan 1,8 ton kolang-kaling ke Jakarta setiap minggunya.
"Sebelum pandemi, kami bisa mengirim ratusan ton per bulan ke Pulau Jawa. Mudah-mudahan sekarang bisa kembali seperti dulu. Kolang-kaling yang sudah siap bisa bertahan hingga satu bulan. Itu sebabnya bisa dikirim sampai ke Pulau Jawa," ucap Azehar.
Ia membeli buah dari kebun warga dengan harga sekitar Rp180.000 per tandan. Dia bilang, tahap paling rumit adalah mengupas biji aren satu per satu.
"Getahnya bisa bikin gatal kalau kena kulit, jadi harus hati-hati," kata pria yang akrab disapa Aze ini.
Saat Ramadan tiba, permintaan kolang-kaling meningkat pesat. Banyak pedagang mengolahnya lebih lanjut dengan pewarna makanan alami, seperti hijau dari daun suji atau merah dari ekstrak angkak, agar tampil lebih menarik di pasaran.
Di berbagai daerah di Indonesia, kolang-kaling diolah menjadi aneka hidangan berbuka. Mulai dari kolak, es buah, hingga manisan kolang-kaling dengan berbagai rasa seperti pandan, stroberi, atau jeruk.
Teksturnya yang kenyal dan kandungan air yang tinggi membuatnya menyegarkan setelah seharian berpuasa.
Di balik kesegaran itu, ada kerja keras para perajin aren di Simalungun yang menjaga agar warisan kuliner ini tetap lestari dari generasi ke generasi.
Bagi Aze, bulan Ramadan bukan hanya momen spiritual tetapi juga waktu panen rezeki.
"Setiap bulan puasa, permintaan naik dua kali lipat. Kami bisa menjual lebih banyak dan harganya juga lebih baik," ujarnya.
Dari pohon tinggi di pedalaman Simalungun hingga mangkuk es campur di meja berbuka, perjalanan kolang-kaling adalah bukti bagaimana hasil bumi lokal dapat menjadi bagian dari tradisi kuliner nasional. (indra/hm27)