Thursday, April 24, 2025
home_banner_first
OPINI

Ironi Penegakan Hukum: Korban “Dipaksa” Menjadi Tersangka

journalist-avatar-top
Selasa, 15 April 2025 18.15
ironi_penegakan_hukum_korban_dipaksa_menjadi_tersangka

Dr. Agustina, S.E, S.H, M.H, M.Psi, M.Pd. (f: ist/mistar)

news_banner

Oleh: Dr. Agustina, S.E, S.H, M.H, M.Psi, M.Pd

Hukum adalah panglima tertinggi yang menjadi komando sekaligus pengawal perjalanan roda kehidupan bangsa Indonesia, karena itu hukum harus ditegakan dengan seadil-adilnya dan sebaik-baiknya guna tercapainya tujuan hukum yaitu untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat) berarti bahwa segala kebijakan dalam berbangsa dan bernegara harus sesuai dengan aturan hukum yang ditetapkan. Namun sayangnya ada begitu banyak oknum dalam institusi penegakan hukum, khususnya Kepolisian yang menjadi pelaku pelanggar hukum itu sendiri.

Kepolisian merupakan ujung tombak law enforcement, karena institusi inilah yang menjadi awal mula proses penegakan hukum (melakukan penyelidikan, penyidikan hingga penetapan tersangka untuk selanjutnya dilimpahkan ke penuntutan).

Jika proses awal penegakan hukum di Kepolisian sudah bermasalah atau mengandung polemik, maka dapat dipastikan prosesnya tidak akan berjalan dengan baik. Seperti kasus pemaksaan, salah tangkap, dan korban begal yang melakukan pembelaan diri justru ditetapkan sebagai pelaku (tersangka) penganiyaaan/pembunuhan.

Kesalahan prosedur dalam kasus korban begal menjadi pelaku, sungguh menjadi tamparan keras bagi aparat pengak hukum. Pasalnya, para personel yang menangai kasus aquo adalah orang-orang terampil dan melek hukum, harusnya sangat kecil potensi bagi mereka melakukan kesalahan (korban ditetapkan menjadi pelaku). Ironinya kasus seperti ini masih terus terjadi sampai sekarang.

Seperti kasus Fikri Hermawan Malwa yang ditetapkan menjadi tersangka pembunuhan oleh Penyidik Polres Tanjab Barat karena membela diri dengan membunuh begal yang menyerangnya pada tahun 2024 lalu. Kasus ini menjadi viral dan menarik perhatian publik, karena viral Polda Jambi akhirnya melakukan penyidikan dan mengelurakan SP3 (penghentian) atas kasus ini. Fikri bebas diselamatkan netizen ‘no viral no justice’.

Selain Fikri, kondisi serupa juga dialami oleh Dedi Irwanto ditetapkan sebagai tersangka karena menikam salah satu begal yang mencoba meranpoknya di Medan pada Desember 2021 lalu. Selain itu, ZA seorang remaja di Malang juga ditetapkan menjadi tersangka karena menganiaya begal yang merampas sepeda motor dan telepon seluler miliknya pada September 2019 silam.

Rapor Merah

Bedasarkan data Polri pada Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Divpropam yang dirilis kumparan.com, menyebutkan pada periode 2018-2021 terdapat ribuan kasus pelanggaran yang dilakukan perosnel Polri.

Pelanggaran tersebut terbagi menjadi tiga yaitu, disiplin sebanyak 3.304 kasus, pelanggaran etik profesi dan komisi etik Polri (KEPP) sebanyak 2081 kaus serta pelanggaran pidana sebanyak 1.024 kasus.

Untuk kategori pelangagraan KEEP, mayoritas melakukan pelangagran penyalahgunaan wewenang dan bertindak sewenang-wenang, menjadi beking atau calo dan bertindak arogan. Sementara untuk pidana, kejahatan yang dilakukan oknum personel diataranya penyalahgunaan narkoba, asusila/zina/cabul, penganiayaan, pencurian, penggelapan, pungli, gratifikasi, penyimpangan anggaran atau korupsi.

Maraknya tingkat pelanggaran tersebut, berdampak pada menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja Kepolisian. Berdasarkan survey Civil Society for Police Watch tahun 2025, merilis laporan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Polri, hasilnya kepercayaan publik masih dibawah 50 persen.

“Dari hasil survei kami, sebanyak 28,7 persen responden yang cukup percaya dengan Polri; sebanyak 3,1 persen sangat percaya; dan 16,3 persen yang percaya pada Polri. Lalu, responden yang menjawab tidak percaya sebesar 10,6 persen, kurang percaya 34,1 persen. Responden yang menjawab tidak tahu/tidak menjawab sebesar 7,2 persen,” ujar Inisiator dan Peneliti Civil Society for Police Watch, Hasnu dalam rilis hasil survei bertajuk 'Pandangan Publik Terhadap Wacana Reposisi Polri' (Liputan6.com).

Kinerja Polri tidak akan mengalami perubahan positif jika mulai dari ekor hingga kepala kompak melakukan pelanggaran. Alhasil Polri menjadi institusi yang paling banyak mendapat sorotan publik karena kinerja buruk dan citra negatif.

Alasan Pembenar dalam KUHP

Kembali ke kasus korban menjadi tersangka, khususnya dalam kasus pembuhunan begal sebenarnya hal ini tidak harus terjadi jika penyidik Polri bekerja secara profesional atau paling tidak rajin belajar dan membaca KUHPidana. Karena hukum positif kita adalah tekstual dan segala ketentuanya sudah tersirat dengan jelas dalam setiap pasal-pasal, sehingga kekeliruan dalam penetapa status korban menjadi pelaku/tersangka harusnya tidak mungkin terjadi (imposible).

Hukum pidana kita terdapat alasan pembenar yaitu kondisi atau situasi yang menghapuskan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan, sehingga pelaku tidak dapat dijatuhi hukuman. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 48 sampai Pasal 50 KUHP, masing-masing yaitu: pertama pembelaan terpaksa (Noodweer) Diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, yaitu tindakan yang dilakukan untuk membela diri atau orang lain dari serangan yang sangat dekat dan nyata.

Tindakan ini dianggap sah jika memenuhi syarat bahwa serangan tersebut bersifat mendesak dan tidak berlebihan. Kedua kadaan darurat Pasal 48 KUHP, terjadi ketika seseorang melakukan perbuatan melawan hukum untuk menyelamatkan diri atau orang lain dari bahaya yang mengancam jiwa atau harta benda.

Ketiga menjalankan perintah undang-undang Pasal 50 KUHP menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku juga dapat menjadi alasan pembenar. Bahwa tindakan yang dilakukan dalam rangka melindungi keselamatan diri, harta dan benda dari ancaman nyata (seperti dalam kasus menyerang Begal) berlaku alasan pembenar pada KUHP, sehingga pelakunya tidak dapat dituntut.

Sebagai dosen hukum sekaligus sarjana psikologi pendidikan, Penulis memandang persoalan ini bukan hanya sebatas konteks pasal, tapi juga dari luka psikologis yang ditimbulkan. Ketika seseorang yang baru saja lolos dari maut malah harus menghadapi proses penegakan hukum (pemeriksaan di kepolisian, penuntutan hingga persidangan di pengadilan).

Kondisi ini menciptakan korban ganda mereka yang terluka oleh pelaku justru kembali ditikam oleh sistem. Ini bukan hanya soal tafsir pasal. Ini soal keberanian penegak hukum untuk berpihak pada nurani. Hukum memang harus tegas, tapi juga harus cerdas membaca situasi. Fakta ini mengantarkan pada suatu konklusi bahwa kinerja aparat penegak hukum sudah sangat memprihatinkan, bukan hanya di atas kertas, tetapi juga merambah pada moral dan hati nurani, karena telah menciderai rasa keadilan masyarakat.

Hukum Humanis dan Keadilan Holistik

Bukan hanya sekadar pendekatan tekstual semata, tapi hukum juga harus memandang nurani yang besandar pada keadilan hakikih. Karena itu kita perlu pendekatan holistik, sebagai sistem hukum yang memahami konteks emosi, dan logika kehidupan manusia.

Seorang warga negara yang melindungi diri tidak dapat diposisikan seperti kriminal, karena tindakan itu dilakukan atas sebab tertentu yang dibenarkan hukum. Bagi aparat penegak hukum yang telah menempuh pendidikan khusus, tidak sulit rasanya untuk membedakan unsur sengaja, menyerang balik dan membela diri karena terpaksa.

Guna mengantisipasi terjadinya kekeliruran ini, dalam proses penyelidikan Polisi dapat mengadopsi Keadilan Holisitik, yaitu hukum tidak cukup ditegakkan hanya berdasarkan teks undang-undang, tetapi juga harus membaca realitas psikologis dan sosial dari manusia yang terlibat di dalamnya. Keadilan Holistik menjadi jawaban atas penegakan hukum yang bersifat represif, karena Keadilan Holistik berdiri dengan bedasarkan pilar kepastian hukum, konsep keamnusian, empati-nurani, serta restorasi.

Polisi harus menghadirkan saksi ahli (psikolog forensik) guna menggali dan memeriksa kondisi psikis korban begal yang melakukan penyerangan. Apakah penyerangan itu dilakukan dalam rangka membela diri dalam keadaan terpaksa sebagaimana dimaksud dalam KUHP, atau semata-mata dilakukan dengan niat sengaja untuk menyakiti orang lain.

Kepolisian pastinya memiliki ketersediaan sumber daya dalam menghadirkan saksi ahli terutama psikolog forensik dalam rengka mengungkap kasus, namun untuk kasus yang “biasa-biasa” yang tidak viral dan mendapat atensi publik, sarana ini tidak diberdayakan karena alasan anggaran. Di sinilah diperlukannya implementasi dan pendekatan keadilan holistik dalam penanganan kasus guna menciptakan proses penegakan hukum yang humanis dan berkeadilan dengan mempertimbangkan aspek psikologi korban/pelaku.

Sudah terlalu sering kita menyaksikan penegakan hukum yang baru bergerak setelah tekanan publik memuncak di media sosial. Fenomena no viral no justice seharusnya tidak menjadi standar bagi lembaga penegak hukum. Hukum sejatinya tidak bekerja berdasarkan popularitas kasus, melainkan berdasarkan nurani keadilan yang hidup di masyarakat.

Untuk itu, dibutuhkan penerapan teori hukum holistik, yakni pendekatan hukum yang menyatukan dimensi keadilan, kepastian, dan kemanfaatan secara seimbang, bukan sekadar tafsir tekstual pasal.

Sudah saatnya Indonesia mereformasi kebijakan kriminal dengan menempatkan hukum holistik sebagai pendekatan utama dalam merumuskan dan mengevaluasi undang-undang. Perlu komitmen kuat dari para akademisi, praktisi, dan masyarakat untuk membenahi berbagai regulasi yang selama ini kaku, formalistik, dan mengabaikan aspek manusiawi dalam suatu peristiwa pidana. Hukum harus memberikan ruang yang jelas bagi alasan pemaaf melalui peran aktif psikolog forensik dan penilaian kontekstual oleh penyidik.

Selain itu, perlu dibuat protokol tentang asesmen psikososial korban dalam proses hukum, agar aparat tidak hanya mengandalkan bukti fisik, tetapi juga memahami aspek traumatik maupun naluri bertahan hidup. Reformasi kebijakan kriminal bukan hanya soal perubahan pasal, tetapi pergeseran paradigma menuju hukum yang adil, pasti dan berpihak pada kemanusiaan.*

Penulis adalah Dosen Universitas Satya Terra Bhinneka, Pemerhati Psikologi dan Advokat

REPORTER:

RELATED ARTICLES