Pemerintah Waspadai Penyebaran Penyakit Arboviral
Pemerintah Waspadai Penyebaran Penyakit Arboviral
Jakarta, MISTAR.ID
Project leader program vaksin mRNA dan vektor virus di Bio Farma, Indra Rudiansyah menyebutkan bahwa saat ini insiden dan penyebaran penyakit arboviral ke tempat-tempat baru menunjukkan perlunya pengembangan vaksin baru.
Dalam KTT Arbovirus, Kementerian Kesehatan, Rudiansyah menginformasikan bahwa strategi utama untuk menangani infeksi virus adalah dengan mengendalikan faktor-faktor tersebut, seperti yang terlihat pada penggunaan pestisida dan nyamuk ber-Wolbachia.
“Namun, tidak ada jaminan bahwa strategi alternatif di masa depan benar-benar dapat menghilangkan arbovirus. Oleh karena itu, kita juga perlu melindungi diri dengan membangun kekebalan tubuh,” tambahnya.
Baca juga: Kemenkes Waspadai Virus B dari Hong Kong Masuk ke Indonesia
Misalnya, di masa lalu, pestisida banyak digunakan untuk mengurangi populasi nyamuk. Namun saat ini banyak serangga yang resisten terhadap pestisida. Oleh karena itu, Rudiansyah menilai vaksin penting untuk penanganan arbovirus.
Ia mengatakan, saat ini sudah ada beberapa vaksin untuk arbovirus, seperti vaksin demam kuning yang diberikan kepada wisatawan atau masyarakat yang tinggal di negara endemis.
“Dan ada (vaksin) chikungunya yang saat ini baru mendapat izin. Tapi, penggunaan vaksin ini masih terbatas, kebanyakan di AS. Dan ada beberapa vaksin untuk Japanese encephalitis. Tiga di antaranya sudah mendapat PQ (prakualifikasi). ) oleh WHO,” tambahnya.
Baca juga: Bayi Berubah Warna Usai Dibawa ke Posyandu Ternyata Terinfeksi Virus
Ia juga menyarankan Dengvaxia untuk pasien seropositif demam berdarah.
Rudiansyah mengatakan, selain arbovirus yang menyebabkan penyakit pada manusia seperti demam berdarah, chikungunya, dan zika, ada pula arbovirus yang menyebabkan penyakit mematikan pada hewan ternak, seperti Rift Valley Fever (RVF) yang dapat menimbulkan risiko bagi perekonomian.
“Dan juga banyak arbovirus yang juga bisa menjadi penyebab epidemi berikutnya, seperti CCHF (demam berdarah Krimea-Kongo),” tambahnya.
Ia menggarisbawahi bahwa saat ini, hanya ada satu vaksin untuk melawan CCHF, dan hanya ada dua vaksin untuk melawan RVF, sehingga perlu dilakukan diversifikasi pengembangan vaksin untuk mengatasi patogen yang dalam waktu dekat dapat menimbulkan risiko epidemi.
Baca juga: Kasus Pertama, Virus Flu Babi Terdeteksi pada Manusia
Ia mengatakan, seluruh teknologi pengembangan vaksin, diagnosis, dan pengobatan tidak akan ada gunanya jika tidak ada pemerataan dalam distribusinya. Melihat hal tersebut, ia menilai transfer teknologi perlu dilakukan.
Kasus mRNA, yang berhasil meningkatkan perlindungan terhadap Covid-19, membuka peluang untuk mereplikasi teknologi tersebut guna melawan penyakit luar.
“Oleh karena itu, untuk mendorong pemerataan, WHO dan MPP memulai program transfer teknologi mRNA agar manufaktur lokal mampu memproduksi vaksin mRNA dan memperkuat kesiapsiagaan pandemi,” jelasnya.
Teknologi tersebut kemudian ditransfer ke 15 mitra, termasuk Bio Farma, atas perintah Indonesia. (antara/hm17)
NEXT ARTICLE
Akhirnya, DPD IPK Asahan Punya Kantor Sendiri