Pengamat: Efisiensi Anggaran Timbulkan Dampak Negatif


Pengamat Anggaran dan Kebijakan Publik, Elfenda Ananda. (f:ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Pengamat Anggaran dan Kebijakan Publik, Elfenda Ananda, mengatakan Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja APBN dan APBD menimbulkan dampak negatif.
Khususnya di bidang pendidikan, seperti pengurangan belanja pendidikan yang menyebabkan penurunan kualitas pendidikan sehingga mempengaruhi kualitas SDM.
"Peningkatan angka putus sekolah, sulitnya akses pendidikan di daerah, pemecatan guru honorer, ketidakpastian pengembangan pendidikan dibanding prioritas pemerintah pada program Makan Bergizi Gratis (MBG), dan kebijakan yang membutuhkan anggaran cukup besar," katanya kepada Mistar.id melalui pesan tertulis, Minggu (16/2/25).
Sambungnya, saat ini lebih gencar pemberitaan dampak negatif dibanding maksud dan tujuan pemerintah melakukan kebijakan efisiensi anggaran belanja.
Elfenda menyebutkan belanja di beberapa kementerian khususnya pendidikan dinilai sering ditemukan penyimpangan anggaran.
"Kegiatan fiktif, pengeluaran yang tidak terukur, hingga manfaat yang dirasakan," ucapnya.
Namun, efisiensi anggaran ini dikatakannya pemerintah telah melakukan kajian terlebih dahulu dan didasarkan pengalaman selama ini.
"Pasti ada alasan beberapa pos belanja program dan kegiatan harus defisiensi. Pemerintah harus jujur dan transparan ketika dalam menjalankan program dan kegiatan terjadi berbagai persoalan," ujarnya.
Lanjutnya, besaran persentase efisiensi wajar di angka 10 hingga 20 persen. Jika efisiensi mencapai 90 persen, maka pembelian ATK perlu dipertanyakan apakah ini merupakan efisiensi atau kegagalan dalam perencanaan.
"Memang merencanakan pemborosan atau mark up perlu dipangkas sebesar 90 persen, begitu juga dengan belanja percetakan yang efisiensinya mencapai 75,9 persen," tuturnya.
Menurut Elfenda, aneh jika dalam perencanaan yang dihitung secara cermat terlebih dahulu justru dipangkas sebesar itu.
"Beberapa pos belanja di pendidikan tinggi, sains, dan teknologi patut dipertanyakan berbagai program bantuan pendidikan untuk meningkatkan kualitas SDM," katanya.
Selama ini, masyarakat membutuhkan bantuan pendidikan untuk meningkatkan daya saing dan peningkatan SDM seperti beasiswa dan bantuan lain.
"Walau persentase efisiensinya tidak sebesar belanja perjalanan dinas atau belanja ATK, namun berbagai program beasiswa ini penting mendapat penjelasan mengapa dilakukan efisiensi," ujarnya.
Ia menegaskan, pemerintah jangan lebih mengutamakan MBG ketimbang peningkatan kualitas pendidikan dan peningkatan SDM.
"Harus jujur, terbuka, dan bertanggung jawab atas kebijakan efisiensi ini, karena ada persentase efisiensi mencapai 90 persen. Apakah selama ini belanja pemerintah banyak yang defisiensi, mark up, tidak tepat sasaran, dan kurang dirasakan dampak kegiatannya oleh masyarakat," ucapnya.
Kemudian, Elfenda menyampaikan bahwa rakyat butuh penjelasan agar kebijakan efisiensi yang dilakukan pemerintah sejalan dengan upaya menyelamatkan uang rakyat.
"Sekaligus bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan yang lebih baik," tuturnya.
Diketahui, anggaran belanja pemerintah di bidang pendidikan semula Rp56,6 triliun lalu di efisiensi sebesar Rp 14,3 triliun menjadi Rp42,3 triliun.
Untuk Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) efisiensi sebesar Rp8,03 triliun, semula Rp33,5 triliun menjadi Rp25 triliun.
Sementara itu, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiksaintek) anggaran yang efisiensi sebesar Rp14,3 triliun, sebelumnya Rp56,6 triliun menjadi Rp42,3 triliun. (amita/hm25)