Kotoran Sapi Jadi Solusi Ekonomi Hijau, Manfaatnya Berganda
Kotoran Sapi Jadi Solusi Ekonomi Hijau Manfaatnya Berganda
Penerapan ekonomi hijau memang sudah seharusnya menjadi wujud transformasi negara untuk maju menggunakan sumber daya alam sebagai peran utamanya.
Ekonomi hijau merupakan sistem yang rendah karbon, efisien dalam penggunaan sumber daya, dan inklusif secara sosial. Salah satunya seperti yang diterapkan Desa Kebun Kelapa, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, dengan memanfaatkan kotoran sapi menjadi biogas dan pupuk organik.
Pemanfaatan ini dilakukan dengan membuat sebuah demplot yang diberi nama Agro Lestari sebagai media eksperimen dan pembelajaran.
Ketua Kelompok Agro Lestari, Syahrudin menjelaskan bahwa pembentukan tim ini dimulai sejak 2022 didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Bitra Indonesia.
“Sudah ada sekitar 7 kali, kami coba dengan menanam jagung, terong, cabai dan lainnya. Selama sekitar 3 tahun ini kami telah menjalani sekolah lapang iklim bersama Bitra Indonesia di persawahan, pembuatan kompos yang telah dilakukan sebanyak 4 kali, pembuatan demplot serta pembangunan biogas,” jelasnya di kawasan Demplot, Kebun Kelapa, Langkat, Rabu (23/10/24).
Direktur Yayasan Bitra Indonesia, Yusdiana menjelaskan bahwa selama 40 tahun berdiri isu organik menjadi salah satu program yang digaungkan.
“Dalam pembinaan kelompok ini sudah banyak yang dilakukan mulai dari pelatihan, pembentukan demplot sayur organik dan di level pemerintah desa kami juga mendorong lahirkan peraturan desa (Perdes) tentang pertanian ramah lingkungan dan saat ini sudah diimplementasikan, termasuk pengembangan biogas,” jelasnya.
Pembuatan Biogas dan Pemanfaatannya
Terkait biogas, ketua kelompok tersebut, menjelaskan bahwa dirinya juga telah menerapkannya selama 2 tahun di rumah sebagai alternatif yang ramah lingkungan dan mengurangi pemakaian liquified petroleum gas (LPG).
“Pemanfaatan biogas ini cukup terasa dalam mengurangi biaya rumah tangga, jadi sekarang masak sudah menggunakan alternatif ini, namun memang ada beberapa kekurangannya seperti ketahanannya dan juga tingkat panasnya,” ungkapnya menjelaskan.
Dalam pembuatannya, Syahrudin mengatakan untuk ukuran 1 meter x 1 meter dibutuhkan waktu kurang lebih satu bulan untuk menghasilkan gas.
“Untuk prosesnya terdapat dua bak untuk pemasukan dan pembuangan, sementara untuk ukuran biogasnya lebar 1 meter, tinggi 1 meter dan tinggi payung sekitar 90 centimeter. Dibuat bentuk payung ini agar tersebut dapat maksimal terkumpul,” jelasnya sembari menunjukan bak untuk memasukan kotoran sapi.
Lanjut Syahrudin, terdapat lubang di dalam instalasi biogas tersebut sehingga menghasilkan limbah di dalam bak pembuangan. Limbah kotoran sapi ini bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
“Jika gasnya sudah banyak bisa kita lihat di bak pembuangannya apakah naik, jika naik maka sudah siap untuk digunakan, untuk alirannya menggunakan pipa biasa. Sementara untuk limbahnya dapat digunakan untuk pupuk organik ke sayuran dan airnya bisa ke padi,” katanya memperlihatkan saluran pipa yang menjadi penghubung gas.
“Sedangkan untuk saluran ke kompornya harus diubah ke ukuran yang lebih besar sehingga sesuai, kurang lebih prosesnya seperti penerapan gas bumi yang dilakukan Perusahaan Gas Negara (PGN),” sambungnya menguraikan.
Dampak Pupuk Organik
Dalam proses penamam organik, Syahrudin mengakui banyak dampak positif yang dirasakan, antara lain minimnya pembiayaan untuk pembelian pupuk kimia dan pestisida. Selain itu, tanaman juga jauh lebih sehat dan panen yang berkepanjangan.
“Alasan saya beralih ke pupuk organik karena memikirkan masa depan anak dan cucu. Pada awal-awal bertani, satu hektare membutuhkan 1 kilogram pupuk di tahun pertama, tapi di tahun kedua dan seterusnya bertambah,” ungkapnya.
“Sedangkan jika kita menggunakan pupuk organik saat ini 1 ton maka di tahun berikutnya bisa 900 kilogram dan menurun setiap tahun. Kadar tanahnya juga semakin bagus walaupun membutuhkan waktu sekitar 2 sampai 3 tahun,” lanjut Syahrudin yang sudah bertani selama 10 tahun.
Di samping proses ini, Syahrudin juga mengungkapkan bahwa masih banyak tantangan serta minimnya edukasi masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya alam tersebut. Dirinya juga sempat diejek karena melakukan sistem bertani yang berbeda dengan lainnya.
“Awal-awal banyak orang yang menertawakan karena saya menggunakan sistem organik ini untuk padi dan lainnya termasuk biogas, tapi setelah melihat hasilnya mereka penasaran dan sadar walaupun masih banyak yang belum menerapkan karena pemikiran dan ribetnya pengelolaan,” ucapnya.
DLH Kabupaten Langkat Upayakan Demplot Organik Jadi Objek Wisata
Di tempat yang sama, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Langkat, Muhammad Harmin turut mengapresiasi program tersebut dengan memberikan sertifikat program iklim (proklim) tingkat Pratama kepada kelompok tani tersebut.
“Jadi selain bisa mengurangi penggunaan pupuk kimia, ini juga bisa mengendalikan iklim sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakat. Nantinya mungkin kita upayakan untuk melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak seperti Dinas Pariwisata sehingga ini bisa menjadi objek wisata dari Kabupaten Langkat,” ujarnya.
Dikatakannya kegiatan tersebut akan dikomunikasikan terlebih dahulu kepada Pj Bupati dan Sekretaris Daerah (Sekda) Langkat.
“Saya rasa bupati dan sekda akan mendukung program tersebut. Walaupun tidak menjadi penilaian namun ini menjadi pertimbangan. Di desa-desa lain juga sudah banyak dilakukan seperti desa pesisir Mangrove.” katanya.
Terkait tantangan dalam program iklim, Harmin mengatakan tidak adanya kendala, tinggal kemauan dan dukungan dari masyarakat.
“Terkait anggaran juga sudah ada anggota DPRD, mungkin ke depannya kita bisa bekerjasama untuk merancang anggaran tersebut. Kalau masyarakat mendukung kita seperti ini, kami sangat senang sekali jadi program pemerintah bisa berjalan, baik ketahanan pangannya,” ungkapnya detail. (dinda/hm17).
PREVIOUS ARTICLE
Kejagung OTT 3 Hakim yang Vonis Bebas Terdakwa Kasus Pembunuhan