Ketua Geopark: Danau Toba Terancam Kering dan Gundul, Kita Sedang Ciptakan Kehancuran Sendiri

Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia, Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang. (foto:pangihutan/mistar)
Samosir, MISTAR.ID
Kawasan Danau Toba, ikon pariwisata dan sumber air utama di Sumatera Utara (Sumut), kini menghadapi krisis lingkungan serius.
Musim kemarau panjang sejak Mei 2025 menyebabkan penurunan permukaan air danau hingga 30 sentimeter, mengeringkan sejumlah mata air, serta memicu gagal panen di sektor pertanian.
Selain itu, kebakaran hutan di sekitar kawasan Danau Toba menimbulkan kabut asap tebal yang menyelimuti beberapa kota dan menurunkan kualitas udara. Kondisi ini juga meningkatkan risiko penyakit pernapasan di kalangan masyarakat.
Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia, Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, menjelaskan bahwa kekeringan dan kebakaran hutan di sekitar Danau Toba bukan hanya disebabkan oleh fenomena El Niño, tetapi juga akibat aktivitas manusia yang merusak lingkungan.
“Fenomena ini bukan sekadar efek El Niño. Penyebab utamanya adalah deforestasi masif dan pembakaran lahan yang merusak zona tangkapan air. Tanah kehilangan kemampuan menyerap air, vegetasi hilang, dan sistem hidrologi terganggu. Kebakaran hutan juga memperparah kekeringan dengan menurunkan curah hujan lokal hingga 15–25 persen,” ujar Wilmar kepada Mistar, Minggu (2/10/2025).
Ia menambahkan, dampak krisis ini sudah terasa langsung di kehidupan masyarakat. Beberapa lahan pertanian padi dan jagung gagal panen akibat kekurangan air, sementara sejumlah mata air yang sebelumnya menjadi tumpuan warga kini mengering.
“Kalau situasi ini terus dibiarkan, dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, fungsi ekologis Danau Toba sebagai penyangga air dan iklim bisa hilang selamanya,” tegasnya.
Menurut Dr. Wilmar, musim kemarau 2025 menjadi yang terpanjang dalam satu dekade terakhir. Kondisi ini memperburuk kebakaran hutan dan lahan yang menghasilkan kabut asap pekat serta mempercepat penurunan permukaan air danau.
“Kita sedang menatap kehancuran yang kita ciptakan sendiri,” ujarnya dengan nada prihatin.
Untuk mengatasi krisis tersebut, Wilmar menilai perlu langkah cepat dan tegas dari pemerintah, termasuk moratorium penebangan hutan, penegakan hukum bagi pelaku pembakaran lahan, dan rehabilitasi kawasan kritis dengan tanaman penahan air.
“Pemerintah harus bertindak tegas. Selain langkah hukum dan rehabilitasi, masyarakat adat dan kelompok tani hutan juga harus dilibatkan dalam pengawasan partisipatif. Mereka adalah penjaga alami hutan di sekitar Danau Toba,” katanya.
Menurutnya, konservasi Danau Toba bukan hanya soal pelestarian lingkungan, tetapi juga soal menyelamatkan sumber air, pangan, energi, dan kehidupan jutaan orang di Sumut.
“Danau Toba adalah warisan bangsa. Menyelamatkannya berarti menyelamatkan masa depan Sumut dan Indonesia,” tuturnya. (hm16)





















