Puisi dan Bunyi: Media Terapi Paling Klasik
Puisi Dan Bunyi Media Terapi Paling Klasik
Medan, MISTAR.ID
Menulis puisi tak mesti harus menjadi penyair, seniman, atau sastrawan. Selama berabad-abad puisi diketahui juga dapat menjadi media terapi sebagai penyembuh.
Terapi puisi adalah suatu bentuk terapi seni yang menggunakan metode lisan dan tertulis untuk menyalurkan energi ke puisi guna penyembuhan, terutama yang berkaitan dengan mental.
Lewat pendalaman ‘rasa’ dan batin, terapi puisi dapat membantu mengasah kepekaan emosi, mengidentifikasi masalah, meningkatkan daya kreativitas, dan lainnya.
Handoko F Zainsam, budayawan lulusan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) kepada mistar.id menjelaskan, walaupun dalam bentuk teks, puisi pada dasarnya merupakan kumpulan bunyi.
Baca juga: Mahasiswa Asing UMSU Bacakan Puisi Etnis Toba di USU
“Secara teori, unsur terkecil dari puisi adalah bunyi bukan kata. Setiap bunyi dari kata memiliki frekuensi dan getaran,” ujarnya, Sabtu (22/6/24).
Pria yang juga pernah menjadi Redaktur Pelaksana (Redpel) di majalah Matra ini melanjutkan, getaran frekuensi ini yang dapat mempengaruhi seseorang untuk dapat merasakan, menikmati, dan memasuki puisi dari aspek psikologisnya.
“Puisi merupakan media paling klasik untuk terapi lewat bunyi. Seperti penyembuhan lewat mantra, zaman dulu mantra dianggap bagian dari puisi, dari zaman Mesir Kuno metode ini sudah banyak diterapkan,” tambahnya.
Di Indonesia, para penyair yang sudah berhasil mewujudkan terapi puisi lewat pembacaan di panggung adalah Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sosiawan Leak dan lainnya. Mereka mampu membuat orang melupakan masalah, mengurangi sakit, dan lainnya, saat menonton pertunjukan mereka.
Baca juga: Hari Guru, Bupati Asahan Bacakan Puisi untuk Tenaga Pendidik
Rendra sendiri pernah suatu waktu di Belanda, dengan pembacaan yang tepat, mampu menghipnotis penonton walaupun berbeda bahasa. Hal ini membuktikan di luar pemaknaan, semua orang dapat menikmati puisi bukan dari kata, tetapi bunyi.
Handoko melanjutkan, yang lebih menarik, dalam bentuk teks tanpa pembacaan lewat suara, teks puisi sudah bisa berbunyi.
“Kita ambil contoh puisi Chairil Anwar, hanya melihat teks, orang bisa menyimpulkan puisinya meledak-ledak karena gaya bahasanya yang lugas. Pun dengan puisi Amir Hamzah, perpaduan rima yang tepat, teks puisinya menjadi merdu,” ungkapnya.
Sebab itu puisi dan bunyi tidak dapat dipisah. Bagi Handoko, puisi bisa menjadi media penyampai yang tepat saat lewat media lain tidak memungkinkan.
Baca juga:Sambut HUT ke-15 Kabupaten Batu Bara, RIE Gelar Lomba Puisi
“Menulis puisi itu kegiatan personal. Kita bebas mengekspresikan diri dalam kesendirian. Tapi dampak dari karya tersebut, bisa sangat luas, termasuk pada diri dan orang yang membaca dan mendengarkannya,” tutupnya.
Di kesempatan yang sama, Bob A Sitorus, penyair dan aktor Kota Medan, kepada mistar.id mengungkapkan, lewat puisi, baik dalam menulis maupun mendengar, dapat menjadi media pelepas dari permasalahan hidup.
“Puisi sebagai media terapi, karena puisi mampu menjadi media pelepas. Ketika masalah dan keluhan tidak bisa disampaikan lewat suara, maka puisi hadir sebagai media penyalur yang tepat,” ungkap Bob, Sabtu (21/6/24). (maulana/hm17)