Slow Fashion, Tren Ramah Lingkungan Kurangi Sampah Pakaian


Ilustrasi. (f:ist/mistar)
Jakarta, MISTAR.ID
Industri fesyen, terutama melalui konsep fast fashion, telah lama mendapat sorotan karena dampak negatifnya terhadap lingkungan. Produksi massal pakaian dengan siklus tren yang cepat mendorong peningkatan limbah tekstil dan emisi karbon.
Keresahan ini memunculkan gerakan slow fashion, yang menawarkan pendekatan lebih berkelanjutan dalam produksi dan konsumsi pakaian.
Melansir The Guardian, surplus produksi pakaian dalam fast fashion sangat besar. Diperkirakan 40% dari pakaian yang diproduksi setiap tahun, atau setara dengan 60 miliar pakaian, tidak terjual dan akhirnya menjadi limbah tekstil.
Gerakan slow fashion hadir sebagai solusi dengan mengedepankan kualitas, umur panjang produk, dan dampak lingkungan yang lebih positif.
Baca Juga: Ini Manfaat Cuka Apel untuk Kesehatan
Berikut ini beberapa manfaat penerapan slow fashion terhadap lingkungan:
1. Pengurangan Limbah Tekstil
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah pakaian setiap tahun, dengan hanya 0,3 juta ton yang berhasil didaur ulang. Sisanya berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa pengelolaan yang memadai.
Pendekatan slow fashion menekankan produksi pakaian berkualitas tinggi dan tahan lama, yang mengurangi frekuensi pembelian dan pembuangan pakaian, sehingga limbah tekstil dapat diminimalkan.
2. Pengurangan Emisi Karbon
Industri tekstil dan pakaian menyumbang sekitar 10% emisi gas rumah kaca global. Proses produksi fast fashion juga melepaskan 500.000 ton serat mikro ke laut setiap tahun, setara dengan 50 miliar botol plastik.
Sebaliknya, slow fashion menggunakan bahan berkelanjutan dan proses produksi ramah lingkungan, yang secara signifikan mengurangi jejak karbon dan polusi.
3. Penggunaan Bahan Ramah Lingkungan
Gerakan ini mendorong penggunaan bahan organik, daur ulang, atau bahan yang diproduksi secara berkelanjutan. Hal ini mengurangi ketergantungan pada bahan sintetis yang sulit terurai dan berpotensi mencemari lingkungan. Selain itu, penggunaan bahan alami tanpa perawatan kimia juga membantu mengurangi polusi air dan tanah.
4. Dukungan terhadap Produksi Lokal
Slow fashion biasanya melibatkan produksi oleh perajin lokal. Dengan mendukung produsen lokal, jejak karbon akibat transportasi dapat diminimalkan, sekaligus memperkuat ekonomi lokal.
5. Menerapkan Daur Ulang dan Pemanfaatan Ulang
Pendekatan ini mendorong masyarakat untuk lebih memilih mendaur ulang atau memanfaatkan kembali pakaian yang ada, ketimbang membeli yang baru. Misalnya, tren thrifting pakaian dan memanfaatkan pakaian lama di lemari semakin digemari. Langkah ini memperpanjang siklus hidup produk tekstil dan mengurangi limbah.
Dengan banyaknya dampak negatif dari fast fashion, adopsi prinsip slow fashion menjadi langkah penting bagi masa depan yang lebih ramah lingkungan. Selain memberikan manfaat bagi konsumen berupa kualitas dan keawetan pakaian, gerakan ini juga menawarkan solusi nyata untuk mengurangi limbah tekstil, emisi karbon, dan polusi. (kcm/hm25)
PREVIOUS ARTICLE
Meninggal Karena Kecelakaan Moge, ini Profil Bendum Demokrat