Cerita Mantan Teroris Dirikan Pondok Pesantren di Deli Serdang


Mantan teroris, Khairul Al Ghazali. (f: susan/mistar)
Deli Serdang, MISTAR.ID
Khairul Ghazali, 60 tahun, tak pernah menyangka jalan hidupnya akan sejauh ini berubah. Dulu dikenal sebagai teroris, kini justru mendirikan pondok pesantren di Deli Serdang. Pondok pesantrennya bernama Al Hidayah di Jalan Sawit Rejo, Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang.
Ia sebelumnya dikenal sebagai anggota jaringan Jamaah Islamiyah (JI) yang terlibat dalam sejumlah aksi terorisme di Sumatera Utara (Sumut).
Ghazali mengaku, sejak usia 18 tahun, ia sudah bergabung di dunia radikalisme. Tak hanya di Indonesia, mereka sudah sampai ke luar negeri.
Saat kembali ke Sumut, Ghazali dan teman-temannya melakukan pengeboman, perampokan salah satu bank di Kota Medan, hingga penyerangan Polsek Hamparan Perak.
Proses penangkapan hingga tembak menembak yang terjadi di 2010, mengakibatkan beberapa temannya meninggal dunia. Sementara Ghazali dan rekannya yang lain ditangkap. Ia divonis enam tahun penjara.
Selama menjalani hukuman enam tahun penjara, Ghazali mengaku selalu mengevaluasi dan mengintrospeksi diri bahwa jihad yang selama ini dilakukannya ternyata mengakibatkan kerusakan.
Hingga akhirnya Ghazali keluar dari penjara dan memilih untuk membuka pesantren dengan tekad baru, yaitu berjihad melalui pendidikan.
Mendirikan pesantren adalah jalan jihad baru. Bukan lagi jihad dengan kekerasan, tapi jihad melawan kebodohan, stigma, dan kemiskinan.
“Negara ini juga perlu jihad. Dulu kami anti-NKRI, sekarang kami membangun NKRI. Lewat pendidikan ini, kami ingin ciptakan anak-anak bangsa yang cinta damai dan cinta Indonesia,” katanya saat ditemui Mistar, Kamis (6/3/2025).

“Kalau dulu jihad kita istilahnya ngebom sana-sini, membakar, menimbulkan kemarahan, menebar ketakutan. Sekarang jihadnya membangun, membina, dan mencerdaskan anak bangsa,” ucapnya.
Baca Juga: Peringati Hari Santri, Pemkab Bagikan Dua Gulung Ambal Sajadah ke 17 Pondok Pesantren di Labura
Berawal dari Keprihatinan
Ghazali membangun pesantren pada 2016. Bermula dari keprihatinannya melihat nasib anak-anak mantan narapidana terorisme (napiter) yang terlantar. Pesantren ini awalnya khusus untuk menampung anak-anak yang ia sebut sebagai ‘anak-anak pelaku sejarah’.
Banyak diantara mereka yang putus sekolah, hidup dalam stigma sosial, hingga mengalami trauma karena orang tua mereka ditangkap, dihukum, bahkan meninggal dunia dalam operasi pemberantasan terorisme.
“Anak-anak ini korban juga. Mereka enggak tahu apa-apa. Mereka diadili, stigma, di-bully dan ini hukuman sosial yang lebih kejam,” ujarnya.
Fokus utama Ghazali adalah memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak mantan napiter agar mereka tidak terus menerus terjebak dalam lingkaran balas dendam dan kebencian.
“Kebetulan saya pernah berasal dari dunia itu, jadi semacam ada frekuensi, senasib sepenanggungan di masa yang lalu. Jadi kenapa kita nggak memperhatikan anak-anak mereka? Makanya kita cetuskan, dan ini mendapat sambutan dari pemerintah,” tuturnya.
Kini, Pondok Pesantren Al Hidayah sudah menampung puluhan santri. Sekitar 15 anak tinggal di asrama, baik putra maupun putri. Sementara sisanya berasal dari masyarakat sekitar yang ikut belajar tanpa tinggal di pesantren. Sementara guru yang mengajar ada 9 orang.
Pendidikan formal yang diberikan mulai dari SD hingga SMP. Saat ini Al Hidayah sedang mempersiapkan pembukaan SMA agar para santri bisa melanjutkan pendidikan tanpa harus keluar.
Lahan pesantren seluas lima hektar yang juga digunakan untuk pertanian itu, kata Ghazali, adalah lahan yang dipinjam pakaikan oleh pemerintah sebagai bentuk dukungan terhadap program deradikalisasi berbasis pendidikan yang dilakukannya.
Tak hanya itu, sejumlah tokoh dan aparat juga ikut membantu secara pribadi. Mulai dari pembangunan masjid hingga ruang kelas.
Hambatan Finansial hingga Penolakan Masyarakat
Meski begitu, perjalanan Al Hidayah tidak selalu mulus. Di awal pendiriannya, Ghazali mengaku terkendala dalam finansial. Mengingat ia harus memberikan makan gratis kepada seluruh santrinya.
Ghazali berusaha mencari donatur dan juga menjadi pendakwah ke sana ke mari untuk mendapatkan biaya operasional dan membeli beras.
Selain itu, pendirian pondok pesantren Al Hidayah juga sempat mendapat penolakan keras dari masyarakat sekitar. Warga khawatir pesantren ini akan menjadi tempat lahirnya generasi baru radikal.
Semakin lama, warga melihat bahwa pesantren mendidik dan memperbaiki anak bangsa. Akhirnya masyarakat sekitar mau menyekolahkan anaknya di pesantren tersebut.
Pembauran ini, sebut Ghazali, menjadi bukti bahwa radikalisme, terorisme atau intoleransi dapat berkolaborasi dengan masyarakat melalui pendekatan sosial yang baik.
Menurut Ghazali, penolakan dan stigmatisasi yang diterima mantan napiter, kesulitan dalam mencari pekerjaan bisa memicu seseorang itu kembali melakukan kejahatan.
Ghazali mengatakan, semua biaya sekolah dan asrama anak-anak ‘pelaku sejarah’ digratiskan. Sedangkan untuk masyarakat sekitar, diwajibkan membayar uang sekolah sekitar Rp50.000 per bulan.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, pesantren Al Hidayah mengandalkan hasil pertanian. Pohon aren menjadi tumpuan utama ekonomi pesantren.
Dari aren, Ghazali dan para santri memproduksi kolang-kaling dan air nira yang dapat dikelola menjadi gula cetak, hingga gula semut. Selain itu, mereka juga menjual bibit aren, pinang, serta menanam kopi, pisang, dan ubi.
“Alhamdulillah, hasil dari situ buat makan anak-anak, bayar guru, operasional pesantren. Jadi ini pesantren yang sekarang berbasis Aren,” tutur Ghazali yang akrab disapa Buya.
Ghazali berharap pemerintah lebih memberikan perhatian, terutama dalam legalisasi SMA yang sedang mereka bangun, serta bantuan operasional pendidikan.
“Gedung SMA sudah ada. Mudah-mudahan tahun ajaran baru ini bisa mulai, tapi tergantung kalau pemerintah terutama Dinas Pendidikan mempermudah perizinannya, apa lagi kalau bisa membantu biaya operasionalnya. Karena ada guru baru,” ungkapnya.
Dari data yang ia pegang, ada sekitar 122 mantan napiter di Sumut. Menurutnya, jika setiap orang punya dua anak saja, maka ada sekitar 240 anak-anak ‘pelaku sejarah’ yang butuh pendidikan layak.
“Saat ini yang kami tampung baru belasan. Artinya, masih banyak di luar sana yang belum terakomodir karena masalah finansial. Jadi harapan kita, pemerintah mau memperhatikan,” katanya. (susan/hm20)
PREVIOUS ARTICLE
Komunitas Pedagang Pasar Horas Siantar Tolak Relokasi